1.
PENGERTIAN ETIKA
Secara
etimologi “etika” berasal dari bahasa Yunani yaitu “ethos” yang berarti watak,
adat ataupun kesusilaan. Jadi etika pada dasarnya dapat diartikan sebagai suatu
kesediaan jiwa seseorang untuk senantiasa patuh kepada seperangkat aturan-aturan
kesusilaan (Kencana Syafiie, 1993). Dalam konteks filsafat, etika membahas
tentang tingkah laku manusia dipandang dari segi baik dan buruk. Etika lebih
banyak bersangkut dengan prinsip-prinsip dasar pembenaran dalam hubungan dengan
tingkah laku manusia (Kattsoff, 1986).
Etika
adalah ilmu yang
membahas tentang bagaimana dan mengapa kita
mengikuti suatu ajaran tertentu atau bagaimana kita bersikap dan bertanggung
jawab dengan berbagai ajaran moral. Etika termasuk kelompok filsafat praktis yang dibagi
menjadi dua kelompok, yaitu etika umum dan etika khusus. Etika merupakan suatu
pemikiran kritis yang mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan
moral. Kedua kelompok etika
itu adalah sebagai berikut :
a.
Etika
Umum, mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan
manusia.
b. Etika
Khusus, membahas prinsip-prinsip tersebut di atas dalam hubungannya dengan
berbagai aspek kehidupan manusia, baik sebagai individu (etika individual)
maupun mahluk sosial (etika
sosial).
2.
PENGERTIAN POLITIK
Pengertian politik berasal dari kata ‘politics’ yang memiliki bermacam-macam
makna kegiatan dalam suatu sistem politik atau ‘negara’, yang menyangkut proses
penentuan tujuan-tujuan dari sistem itu dan diikuti dengan pelaksanaan
tujuan-tujuan itu. Untuk melaksanakan tujuan-tujuan itu perlu ditentukan
kebijaksanaan umum atau public policies, yang
menyangkut peraturan dan pembagian atau distribusi dari sumber-sumber yang ada.
Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat dan bukan
tujuan pribadi. Selain itu politik menyangkut krgiatan berbagai kelompok
termasuk partai politik, lembaga masyarakat maupun perorangan. Berdasarkan pengertian-pengertian pokok
tentang politik maka secara operasional bidang politik menyangkut konsep-konsep
pokok yang berkaitan dengan negara (state), kekuasaan (power), pengambilan
keputusan (decision making), kebijakan (policy), pembagian (distribution),
serta alokasi (allocation) (Budiardjo, 1981: 8,9).
3.
PENGERTIAN ETIKA POLITIK
Setelah
penjelasan kedua poin di atas, maka tibalah pada intisari penting, yaitu etika
politik. Secara substantif pengertian etika politik tidak dapat dipisahkan
dengan subjek sebagai pelaku etika, yakni manusia. Oleh karena itu etika
politik berkaitan erat dengan bidang pembahasan moral. Hal ini berdasarkan
kenyataan bahwa pengertian “moral” senantiasa menunjuk kepada manusia sebagai
subjek etika. Dapat disimpulkan bahwa dalam hubungannya dengan masyarakat
bangsa maupun negara, etika politik tetap meletakkan dasar fundamental manusia
sebagai manusia. Dasar ini lebih meneguhkan akar etika politik bahwa kebaikan
senantiasa didasarkan kepada hakikat manusia sebagai makhluk beradab dan
berbudaya.
Berdasarkan
suatu kenyataan bahwa masyarakat, bangsa, maupun negara bisa berkembang ke arah
keadaan yang tidak baik dalam arti moral. Misalnya suatu negara yang dikuasai
oleh penguasa atau rezim yang otoriter. Dalam suatu masyarakat negara yang
demikian ini maka seseorang yang baik secara moral kemanusiaan akan dipandang
tidak baik menurut negara serta masyarakat negara. Oleh karena itu aktualisasi
etika politik harus senantiasa mendasarkan kepada ukuran harkat dan martabat
manusia sebagai manusia (Suseno, 1987: 15).
4.
NILAI-NILAI PANCASILA
SEBAGAI SUMBER ETIKA POLITIK
Sebagai dasar filsafat Negara Pncasila tidak hanya
merupakan sumber derivasi peraturan perundang-undangan, melainkan juga
merupakan sumber moralitas terutama dalam hubungannya dengan legtimasi
kekuasaan, hukum serta berbagai macam kebijakan dalam pelaksanaan dan
penyelenggearaan Negara. Sila pertama ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ serta sila
kedua ‘Kemanusiaan yang Adil dan Beradab’ merupakan sumber nilai-nilai moral
bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Negara Indonesia berdasarkan sila pertama bukanlah
Negara yang ‘Teokrasi’ yang mendasarkan kekuasaan Negara pada legitimasi
religious, melainkan berdasarkan legitimasi hukum serta legitimasi demokrasi.
Oleh karena itu asas sila pertama lebih berkaitan dengan legitimasi moral. Hal
ini lah yang membedakan Negara Berketuhanan Yang Maha Esa dengan Negara
Teokrasi. Walaupun dalam Negara Indonesia tidak mendasarkan pada legitimasi
religious, namun secara moralitas kehidupan Negara harus sesuai dengan
nilai-nilai yang berasal dari Tuhan terutama hukum serta moral dalam kehidupan
Negara.
Selain sila pertama, sila kedua juga merupakan sumber
nilai-nilai moralitas dalam kehidupan Negara. Negara pada prinsipnya adalah
merupakan persekutuan hidup manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Bangsa
Indonesia sebagai bagian dari umat manusia di dunia hidup secara bersama dalam
suatu wilayah tertentu, dengan suatu cita-cita dan prinsip-prinsip hidup demi
kesejahteraan bersama (Sila Ketiga). Oleh karena itu manusia pada hakikatnya
merupakan asas yang bersifat fundamental dalam kehidupan Negara. Manusia adalah
merupakan dasar kehidupan serta pelaksanaan dan penyelenggaraan Negara. Oleh
karena itu asas-asas kemanusiaan adalah bersifat mutlak dalam kehidupan Negara
dan hukum. Selain itu asas manusia juga harus merupakan prinsip dasar moralitas
dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan Negara.
Selain itu dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan
Negara harus berdasarkan legtimasi hukum yaitu prinsip ‘legalitas’. Negara
Indonesia adalah Negara hukum oleh karena itu keadilan dalam hidup bersama
(keadilan sosial) sebagai mana terkandung dalam sila kelima, adalah merupakan
tujuan dari kehidupan Negara. Oleh karena itu segala kebijakan, kekuasaan,
kewenangan serta pembagian senantiasa harus berdasarkan atas hukum yang
berlaku. Pelanggaran atas prinsip-prinsip dalam kehidupan kenegaraan akan
menimbulkan ketidakseimbangan dalam kehidupan Negara.
Negara adalah berasal dari rakyat dan segala kebijakan
dan kekuasaan yang dilakukan senantiasa untuk rakyat (sila keempat). Oleh
karena itu rakyat merupakan asal mula kekuasaan Negara. Maka dalam pelaksanaan
politik praktis hal-hal yang menyangkut kekuasaan eksekutif, legislatif serta
yudikatif konsep pengambilan keputusan, pengawasan serta partisipasi harus
berdasarkan legitimasi dari rakyat, atau dengan kata lain harus memiliki
‘legitimasi demokrasi’.
Prinsip-prinsip dasar etika politik itu dalam
realisasi praksis dalam kehidupan kenegaraan senantiasa dilaksanakan secara
korelatif diantara ketiganya. Kebijaksanaan serta keputusan yang diambil dalam
pelaksanaan kenegaraan baik menyangkut politik dalam negeri maupun luar negeri,
ekonomi baik nasional maupun global, yang menyangkut rakyat dan lainnya selain
berdasarkan hukum yang berlaku (legitimasi hukum), harus mendapat legitimasi
rakyat (legitimasi demokrasi) dan juga harus berdasarkan prinsip-prinsip
moralitas (legitimasi moral).
Etika politik ini juga harus direalisasikan oleh
setiap individu yang terlibat secara kongkrit dalam pelaksanaan pemerintah
Negara. Para pejabat eksekutif, anggota legislatif, maupun yudikatif, para
pejabat Negara baik DPR maupun MPR aparat pelaksana dan penegak hukum harus
menyadari bahwa selain legitimasi hukum dan legitimasi demokrasi juga harus
berdasar pada legitimasi moral. Misalnya suatu kebijakan itu sesuai dengan
hukum belum tentu seuai dengan moral, contohnya gaji para pejabat Negara sesuai
dengan hukum tetapi bila dilihat dari keadaan Negara maka hal tersebut tidak
sesuai secara moral.
- Legitimasi Sosiologis
Paham sosiologis
tentang legitimasi. Mempertanyakan motivasi motivasi apakah yang nyata-nyata
membuat masyarakat mau menerima kekuasaan atau wewenag seseorang, sekelompok
orang atau penguasa. Magnis-Suseno menyebutkan motivasi penerimaan kekuasaan
sebagaimana dirumuskan oleh Weber yaitu:
(1) “Legitimasi
Tradisional” yakni keyakinan dalam suatu masyarakat tradisonal, bahwa pihak
yang menurut tradisi lama memegang pemerintahan memang berhak untuk memerintah,
misalnya golongan Bangsawan atau keluarga raja dan memang patut untuk ditaati.
(2) “Legitimasi
Kharismatik” Berdasarkan perasaan kagum, hormat, dan cinta masyarakat
terhadap seseorang pribadi yang sangat mengesankan sehingga masyarakat bersedia
taat kepadanya.
(3) “Legitimasi
rasional-Legal” Berdasarkan kepercayaan pada tatanan hukum rasional yang
melandasi kedudukan seseorang atau penguasa.
b. Legalitas
Suatu tindakan
adalah legal apabila dilakukan sesuai dengan hokum atau peraturan yang berlaku.
Jadi legalitas adalah kesesuaian dengan hokum yang berlaku. Legalitas menuntut
agar kekuasaan ataupun wewenang dilaksanakan sesuai hukum yang berlaku. Jadi suatu
tindakan adalah sah apabila sesuai, tidak sah apabila tidak sesuai dengan hukum
yang berlaku. Karena itu legalitas merupakan salah satu criteria keabsahan
suatu kekuasaan atau wewenang.
c. Legitimasi Etis
Legitimasi etis
mempersoalkan keabsahan wewenang ataupun kekuasaan politik dari segi
norma-norma moral. Legitimasi ini muncul dalam konteks bahwa setiap tindakan
pemerintah apakah Legislatif, Eksekutif maupun Yudikatif dipertanyakan dari
segi norma-norma moral. Pertanyaan yang timbul merupakan unsur penting untuk
mengarahkan “kekuasaan” dalam menggunakan kebijakan kebijakan yang semakin
sesuai tuntutan kemanusian yang adil dan beradab.
d. Legitimasi Kekuasaan
Pokok
permasalahan etika politik adalah legitimasi etis kekuasaan. Sehingga penguasa
memiliki kekuasaan dan masyarakat berhak untuk menuntut pertanggung jawaban.
Kewibawaan penguasa yang paling meyakinkan adalah keselarasan social, yakni
tidak terjadi keresahan dalam masyarakat. Segala bentuk kritik, ketidakpuasan,
tantangan, perlawanan, dan kekacauan menandakan bahwa masyarakat resah.
Sebaliknya, keselarasan akan tampak apabila masyarakat merasa tenang, tentram
dan sejahtera. Jadi secara etika politik seorang penguasa yang sesungguhnya
adalah keluhuran budinya.
e. Legitimasi Moral dalam Kekuasaan
Legitimasi etis
mempersoalkan keabsahan kekuasaan politik dari segi norma-norma moral.
Legitimasi ini muncul dalam konteks bahwa setiap tindakan Negara baik
legislatif maupun eksekutif dapat dipertanyakan dari segi norma-norma moral.
Tujuannya adalah agar kekuasaan itu mengarahkan kekuasaan kepamakaian kebijakan
dan cara-cara yang semakin sesuai dengan tuntutan tuntutan kemanusiaan yang
adil dan beradab. Moralitas kekuasaan lebih banyak ditentukan oleh nilai-nilai
yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat. Apabila masyarakatnya adalah
masyarakat yang religius, maka ukuran apakah penguasa itu memiliki etika
politik atau tidak tidak lepas dari moral agama yang dianut oleh masyarakatnya.
5.
ANALASIS PRO TERHADAP KENAIKAN BBM
Kepada masyarakat diberikan gambaran bahwa setiap kali harga
minyak mentah di pasar internasional meningkat, dengan sendirinya pemerintah
harus mengeluarkan uang ekstra, dengan istilah “untuk membayar subsidi BBM yang
membengkak”. Harga BBM yang
dikenakan pada rakyat Indonesia tidak selalu sama dengan ekuivalen harga minyak
mentahnya. Bilamana harga BBM lebih rendah dibandingkan dengan ekuivalen harga
minyak mentahnya di pasar internasional, dikatakan bahwa pemerintah merugi,
memberi subsidi untuk perbedaan harga ini. Lantas dikatakan bahwa “subsidi” sama
dengan uang tunai yang harus dikeluarkan oleh pemerintah, sedangkan pemerintah
tidak memilikinya. Maka APBN akan jebol, dan untuk menghindarinya, harga BBM
harus dinaikkan.
Kebijakan itu dikeluarkan setelah melalui kajian dan berbagai
pertimbangan yang masak serta dengan memperhitungkan dampak positif dan
negatifnya yang memang pada akhirnya kenaikan harga BBM lah yang dianggap
paling tepat untuk dilakukan. Tujuannya bukan hanya untuk menyelamatkan APBN,
tapi juga untuk menyelamatkan penyelenggaraan kegiatan negara lainnya seperti
pelayanan kesehatan, pendidikan, sosial, ekonomi dan lainnya. Bahkan Kadin ikut
menganjurkan agar pemerintah menaikkan harga BBM untuk memberikan kepastian
bagi dunia usaha. Dari kalangan masyarakat yang setuju dengan kenaikan BBM
antara lain diperoleh pendapat bahwa harga BBM wajar naik karena harga minyak
mentah yang merupakan bahan pokoknya juga meningkat. Pendapat lain mengatakan
harga BBM perlu naik agar masyarakat berhemat dan efisien dalam menggunakan
BBM. Sementara seorang PNS mengatakan bahwa ia setuju harga BBM naik, karena
mengurangi subsidi untuk BBM yang akan terbuang percuma, lebih baik dana
subsidi digunakan untuk kesehatan atau pendidikan. Pendapat yang lebih ekstreem
berpendapat bahwa sebaiknya subsidi sebaiknya dihapus, dananya dialihkan untuk
BLT dan harga BBM disesuaikan dengan harga pasar.
Kaelan. 2010. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta:
Paradigma.
Kattsoff,
Louis O., 1986, Pengantar Filsafat, dialihbahasakan
oleh: Soejono Soemargono, Tiara Wacana, Yogyakarta.
Suseno
Von Magnis, 1978, Etika Politik,
Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. PT. Gramedia, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar