PROPOSAL PENELITIAN
“Pengaruh Gaya
Kepemimpinan terhadap Tingkat Kinerja Karyawan"
BAB II Tinjauan Pustaka
2.1 Kinerja
Karyawan
Kinerja merupakan kondisi yang harus diketahui dan
diinformasikan kepada pihak-pihak tertentu untuk mengetahui tingkat pencapaian
hasil suatu instansi dihubungkan dengan visi yang diemban suatu organisasi
serta mengetahui dampak positif dan negatif suatu kebijakan operasional yang
diambil. Dengan adanya informasi mengenai kinerja suatu instansi pemerintah,
akan dapat diambil tindakan yang diperlukan seperti koreksi atas kebijakan,
meluruskan kegiatan-kegiatan utama, dan tugas pokok instansi, bahan untuk perencanaan,
menentukan tingkat keberhasilan instansi untuk memutuskan suatu tindakan, dan
lain-lain. Kinerja didefinisikan sebagai kontribusi terhadap hasil akhir
organisasi dalam kaitannya dengan sumber yang dihabiskan (Bain, 1982 dalam
McNeese-Smith, 1996) dan harus diukur dengan indikator kualitatif dan
kuantitatif (Belcher,1987; Cohen 1980 dalam McNeese-Smith, 1996). Maka
pengembangan instrument dilakukan untuk menilai persepsi pekerjaan akan kinerja
diri mereka sendiri dalam kaitannya dengan item-item seperti out put,
pencapaian tujuan, pemenuhan deadline, penggunaan jam kerja dan ijin sakit
(Sukarno, 2002). Kinerja menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sesuatu
yang hendak dicapai, prestasi yang diperlihatkan dan kemampuan kerja. Kinerja
dipergunakan manajemen untuk melakukan penilaian secara periodik mengenai
efektivitas operasional suatu oganisasi dan karyawan berdasarkan sasaran,
standar dan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan kinerja,
organisasi dan manajemen dapat mengetahui sejauhmana keberhasilan dan kegagalan
karyawannya dalam menjalankan amanah yang diterima.
Bass dan Avolio (1990) menjelaskan bahwa dalam organisasi
formal, kinerja karyawan secara individual atau kelompok tergantung pada usaha
mereka dan arah serta kompetensi dan motivasi untuk menunjukkan performansi
sesuai yang diharapkan untuk mencapai sasaran berdasarkan posisi mereka di
dalam sistem (Alimuddin, 2002). Untuk dapat mengetahui kinerja seseorang atau
organisasi, perlu diadakan pengukuran kinerja. Menurut Stout (BPKP, 2000),
pengukuran kinerja merupakan proses mencatat dan mengukur pencapaian
pelaksanaan kegiatan dalam arah pencapaian misi (mission accomplishment)
melalui hasil-hasil yang ditampilkan berupa produk, jasa ataupun suatu proses.
Maksudnya setiap kegiatan organisasi harus dapat diukur dan dinyatakan
keterkaitannya dengan pencapaian arah organisasi di masa yang akan datang yang
dinyatakan dengan pencapaian visi dan misi organisasi. Produk dan jasa yang
dihasilkan akan kurang berarti apabila tidak ada kontribusinya terhadap
pencapaian visi dan misi organisasi. Melalui pengukuran kinerja diharapkan pola
kerja dan pelaksanaan tugas pembangunan dan tugas umum pemerintahan akan
terlaksana secara efesien dan efektif dalam mewujudkan tujuan nasional.
Pengukuran kinerja pegawai akan dapat berguna untuk: (1) mendorong orang agar
berperilaku positif atau memperbaiki tindakan mereka yang berada di bawah
standar kinerja, (2) sebagai bahan penilaian bagi pihak pimpinan apakah mereka
telah bekerja dengan baik, dan (3) memberikan dasar yang kuat bagi pembuatan
kebijakan untuk peningkatan organisasi (BPKP, 2000). Dalam pengukuran kinerja
(performance measurement) organisasi hendaknya dapat menentukan aspek-aspek apa
saja yang menjadi topik pengukurannya. Miner (Sainul, 2002) menetapkan komponen
variabel pengukuran kinerja ke dalam 3 kelompok besar, yaitu: (1) berkaitan
dengan karakteristik kualitas kerja pegawai; (2) berkaitan dengan kuantitas
kerja pegawai; dan (3) berkaitan dengan kemampuan bekerjasama dengan pegawai lainnya.
Ketiga indikator pengukuran kinerja tersebut akan digunakan sebagai acuan dalam
mengukur kinerja pegawai di lingkungan instansi RSUD Kota Semarang. Kinerja
karyawan mengacu pada mutu pekerjaan yang dilakukan oleh
karyawan
didalam implementasi mereka melayani program sosial. Memfokuskan pada asumsi
mutu bahwa perilaku beberapa orang yang lain lebih pandai daripada yang lainnya
dan dapat diidentifikasi, digambarkan, dan terukur. Aspek dalam kinerja
karyawan adalah sebagai berikut:
a.Proaktif
dalam pendekatan pekerjaan
b.Bermanfaat
dari pengawasan
c.Merasa
terikat dalam melayani klien
d.Berhubungan
baik dengan staff lain
e.Menunjukkan
ketrampilan dan pengetahuan inti bekerja aktivitas
f.Menunjukkan
kebiasaan bekerja yang baik
g.Mempunyai
sikap positif dalam pekerjaan
Kinerja karyawan mengacu pada prestasi kerja karyawan diukur
berdasarkan standar atau kriteria yang telah ditetapkan perusahaan. Pengelolaan
untuk mencapai kinerja karyawan yang sangat tinggi terutama untuk meningkatkan
kinerja perusahaan secara keseluruhan. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja
karyawan meliputi strategi organisasi, (nilai tujuan jangka pendek dan jangka
panjang, budaya organisasi dan kondisi ekonomi) dan atribut individual antara
lain kemampuan dan ketrampilan. Kinerja bias meningkatkan kepuasan para
karyawan dalam organisasi dengan kinerja tinggi daripada organisasi dengan
kinerja rendah (Ostroff, 1992).
2.2 Kepemimpinan
Masalah kepemimpinan telah muncul bersamaan dengan
dimulainya sejarah manusia, yaitu sejak manusia menyadari pentingnya hidup
berkelompok untuk mencapai tujuan bersama. Mereka membutuhkan seseorang atau
beberapa orang yang mempunyai kelebihan-kelebihan daripada yang lain, terlepas
dalam bentuk apa kelompok manusia tersebut dibentuk. Hal ini tidak dapat
dipungkiri karena manusia selalu mempunyai keterbatasan dan kelebihan-kelebihan
tertentu. Survei yang dilakukan majalah SWA (Majalah SWA, Januari 2001) dalam
mencari Chief Executive Officer (CEO) terbaik tahun 2000 di Indonesia, tampak
bahwa karakteristik kepemimpinan yang terbukti menjamin eksistensi organisasi
antara lain adalah perhatian terhadap bawahan. Karakteristik ini menempati
peringkat kedua terpenting setelah visisang pemimpin. Ini berarti bahwa
pengelolaan manusia dalam organisasi merupakan kunci untuk memperbaikikinerja
organisasi dan kesiapan menghadapi perubahan di abad 21 (Alimuddin, 2002).
Siagian (1999) merumuskan kepemimpinan sebagai suatu kegiatan
untuk mempengaruhi perilaku orang-orang agar bekerja bersama-sama menuju suatu tujuan
tertentu yang mereka inginkan bersama. Dengan kata lain, kepemimpinan adalah
kemampuan mempengaruhi kelompok untuk mencapai tujuan kelompok tersebut. Dari
berbagai pendapat yang dirumuskan para ahli diatas dapat diketahui
bahwa
konsepsi kepemimpinan itu sendiri hampir sebanyak dengan jumlah orang
yang
ingin mendefinisikannya, sehingga hal itu lebih merupakan konsep berdasarkan
pengalaman. Hampir sebagian besar pendefinisian kepemimpinan memiliki titik
kesamaan kata kunci yakni “suatu proses mempengaruhi”. Akan tetapi kita
menemukan bahwa konseptualisasi kepemimpinan dalam banyak hal berbeda.
Perbedaan dalam hal “siapa yang mempergunakan pengaruh, tujuan dari
upaya
mempengaruhi, cara-cara menggunakan pengaruh tersebut”. Menurut W.A. Gerungan
(Uchjana, 1981) bahwa setiap pemimpin sekurang-kurangnya memiliki tiga syarat,
yakni :
1.
Memiliki
Persepsi Sosial (Social Perception)
Persepsi sosial ialah kecakapan
untuk cepat melihat dan memahami perasaan, sikap, dan kebutuhan anggota
kelompok.
2.
Kemampuan
Berpikir Abstrak (Ability in Abstract Thinking)
Kemampuan berabstraksi dibutuhkan
oleh seorang pemimpin untuk dapat menafsirkan kecenderungan-kecenderungan
kegiatan, baik di dalam maupun di luar kelompok, dalam kaitannya
dengan tujuan kelompok. Kemampuan tersebut memerlukan taraf intelegensia yang
tinggi pada seorang pemimpin.
3.
Keseimbangan
Emosional (Emotional Stability)
Pada diri seorang pemimpin harus
terdapat kematangan emosional yang berdasarkan kesadaran yang mendalam akan
kebutuhan, keinginan, cita-cita dan suasana hati, serta pengintegrasian kesemua
hal tersebut ke dalam suatu kepribadian yang harmonis sehingga seorang pemimpin
dapat turut merasakan keinginan dan cita-cita anggota kelompoknya. Kepemimpinan
tergantung kepada banyak faktor dan tiap-tiap pimpinan senantiasa dapat
memperbaiki dan mempertinggi kemampuannya dalam bidang kepemimpinannya dengan
jalan mengimitasi cara-cara yang ditempuh oleh pemimpin yang berhasil dalam
tugas-tugas mereka atau mempelajari dan menerapkan prinsip-prinsip yang
mendasari kepemimpinan yang baik. Definisi kepemimpinan seperti yang
diungkapkan sebelumnya, berimplikasi pada tiga hal utama seperti dikemukakan
oleh Locke (1997), yaitu:
Pertama, kepemimpinan menyangkut ‘orang lain’, bawahan atau
pengikut,
kesediaan
mereka untuk menerima pengarahan dari pemimpin. Jika tidak ada pengikut, maka
tidak akan ada pula pemimpin. Tanpa bawahan semua kualitas kepemimpinan seorang
atasan akan menjadi tidak relevan. Terkandung makna bahwa para pemimpin yang
efektif harus mengetahui bagaimana membangkitkan inspirasi dan menjalin relasi
dengan pengikut mereka.
Kedua, kepemimpinan merupakan suatu ‘proses’. Agar bisa
memimpin, pemimpin mesti melakukan sesuatu, kepemimpinan lebih dari sekedar
menduduki
suatu
posisi otoritas. Kendatipun posisi otoritas yang diformalkan mungkin sangat
mendorong
proses kepemimpinan, tetapi sekadar menduduki posisi itu tidak memadai untuk
membuat seseorang menjadi pemimpin. Ketiga, kepemimpinan harus ‘membujuk’
orang-orang lain untuk mengambil tindakan. Pemimpin membujuk para pengikutnya
lewat berbagai cara seperti menggunakan otoritas yang terlegitimasi,
menciptakan model (menjadi teladan), penetapan sasaran, memberi imbalan dan
hukuman, restrukturisasi organisasi, dan mengkomunikasikan sebuah visi. Rumusan
kepemimpinan dari sejumlah ahli tersebut menunjukkan bahwa dalam suatu
organisasi terdapat orang yang mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi,
mengarahkan, membimbing dan juga sebagian orang yang mempunyai kegiatan untuk
mempengaruhi perilaku orang lain agar mengikuti apa yang menjadi kehendak dari
pada atasan atau pimpinan mereka. Karena itu, kepemimpinan dapat dipahami
sebagai kemampuan mempengaruhi bawahan agar terbentuk kerjasama di dalam
kelompok untuk mencapai tujuan organisasi. Apabila orang-orang yang menjadi
pengikut atau bawahan dapat dipengaruhi oleh kekuatan kepemimpinan yang
dimiliki oleh atasan maka mereka akan mau mengikuti kehendak pimpinannya dengan
sadar, rela, dan sepenuh hati. Seringkali pengertian kepemimpinan dan manajemen
disamakan oleh
banyak
orang, namun ada pula yang membedakan pengertian keduanya. John Kotter
(Robbins, 2006) berpendapat bahwa kepemimpinan berbeda dari manajemen.
Manajemen berkaitan dengan hal-hal untuk mengatasi kerumitan. Manajemen yang
baik dapat menghasilkan tata tertib dan konsistensi dengan menyusun
rencana-rencana formal, merancang struktur organisasi yang ketat dan memantau
hasil lewat pembandingan terhadap rencana yang telah ditetapkan sebelumnya.
Kepemimpinan, sebaliknya, berkaitan dengan hal-hal untuk mengatasi perubahan.
Pemimpin menetapkan arah dengan mengembangkan suatu visi
terhadap masa depan, kemudian mengkomunikasikannya kepada setiap orang dan
mengilhami orang-orang tersebut dalam menghadapi segala rintangan. Kotter
menganggap, baik kepemimpinan yang kuat maupun manajemen yang kuat merupakan
faktor penting bagi optimalisasi efektifitas organisasi. Tingkah laku pemimpin
yang istimewa, pertama adalah kemampuan memberi inspirasi bersama atau pemimpin
sebagai inspirational motivation, yaitu memberikan gambaran ke masa depan dan
membantu orang lain. Kedua, adalah kemampuan membuat model pemecahan (idealized
influence), yaitu memberi keteladanan dan merencanakan
keberhasilan-keberhasilan kecil. Semuanya untuk memahami tentang
transformational leadership, yaitu bahwa seorang pemimpin dapat
mentransformasikan bawahannya melalui empat cara: idealized influence,
inspirational motivation, intelectual stimulation dan individualized
consideration (Bass, 1997). Henry Mintzberg (Luthans, 1995 dalam Alimuddin,
2002), berdasarkan studi observasi yang ia lakukan secara langsung, membagi
tiga jenis fungsi pemimpin atau manajer :
1.
Fungsi
Interpersonal (The Interpersonal Roles)
Fungsi ini dapat ditingkatkan
melalui jabatan formal yang dimiliki oleh seorang pemimpin dan antara pemimpin
dengan orang lain. Fungsi interpersonal terbagi menjadi 3, yaitu :
a. Sebagai Simbol Organisasi
(Figurehead).
Kegiatan yang dilakukan dalam
menjalankan fungsi sebagai simbol organisasi umumnya bersifat resmi, seperti
menjamu makan siang pelanggan.
b. Sebagai Pemimpin (Leader).
Seorang pemimpin menjalankan
fungsinya dengan menggunakan pengaruhnya untuk memotivasi dan mendorong
karyawannya untuk mencapai tujuan organisasi.
c. Sebagai Penghubung (Liaison).
Seorang
pemimpin juga berfungsi sebagai penghubung dengan orang diluar lingkungannya,
disamping ia juga harus dapat berfungsi sebagai penghubung antara manajer dalam
berbagai level dengan bawahannya.
d. Fungsi Informasional (The
Informational Roles)
Seringkali
pemimpin harus menghabiskan banyak waktu dalam urusan
menerima dan menyebarkan informasi.
Ada tiga fungsi pemimpin disini.
e. Sebagai Pengawas (Monitor).
Untuk mendapatkan informasi yang
valid, pemimpin harus melakukan pengamatan dan pemeriksaan secara kontinyu
terhadap lingkungannya, yakni terhadap bawahan, atasan, dan selalu menjalin
hubungan dengan pihak luar.
f. Sebagai Penyebar (Disseminator).
Pemimpin
juga harus mampu menyebarkan informasi kepada pihak-pihak yang memerlukannya.
Sebagai
juru bicara, pemimpin berfungsi untuk menyediakan informasi bagi pihak luar.
2.
Fungsi
Pembuat Keputusan (The Decisional Roles)
Ada empat fungsi pemimpin yang berkaitan dengan keputusan.
a. Sebagai Pengusaha (Entrepreneurial).
Pemimpin
harus mampu memprakarsai pengembangan proyek dan menyusun sumber daya yang
diperlukan. Oleh karena itu pemimpin harus memiliki sikap proaktif.
b. Sebagai Penghalau Gangguan
(Disturbance Handler).
Pemimpin
sebagai penghalau gangguan harus bersikap reaktif terhadap masalah dan tekanan
situasi.
c. Sebagai Pembagi Sumber Dana
(Resource Allocator).
Disini
pemimpin harus dapat memutuskan kemana saja sumber dana akan didistribusikan ke
bagian-bagian dari organisasinya. Sumber dana ini mencakup uang, waktu,
perbekalan, tenaga kerja dan reputasi.
d. Sebagai Pelaku Negosiasi
(Negotiator).
Seorang
pemimpin harus mampu melakukan negosiasi pada setiap tingkatan, baik dengan
bawahan, atasan maupun pihak luar. Organisasi yang berhasil dalam mencapai
tujuannya serta mampu memenuhi tanggung jawab sosialnya akan sangat tergantung
pada para manajernya (pimpinannya). Apabila manajer mampu melaksanakan
fungsi-fungsinya dengan baik, sangat mungkin organisasi tersebut akan dapat
mencapai sasarannya. Suatu organisasi membutuhkan pemimpin yang efektif, yang
mempunyai kemampuan mempengaruhi perilaku anggotanya atau anak buahnya. Jadi, seorang pemimpin atau kepala suatu organisasi akan diakui
sebagai seorang pemimpin apabila ia dapat mempunyai pengaruh dan mampu
mengarahkan bawahannya ke arah pencapaian tujuan organisasi.
2.3 Gaya
Kepemimpinan
Ada suatu pendekatan yang dapat digunakan untuk memahami
kesuksesan dari kepemimpinan, yakni dengan memusatkan perhatian pada apa yang
dilakukan
oleh
pemimpin tersebut. Jadi yang dimaksudkan disini adalah gayanya. Gaya
kepemimpinan merupakan norma perilaku yang digunakan oleh seseorang pada saat
orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain seperti yang ia
inginkan. Gaya kepemimpinan dalam organisasi sangat diperlukan untuk
mengembangkan lingkungan kerja yang kondusif dan membangun iklim motivasi
bagi
karyawan sehingga diharapkan akan menghasilkan produktivitas yang tinggi.
Gaya
kepemimpinan adalah suatu cara yang digunakan oleh seorang pemimpin dalam
mempengaruhi perilaku orang lain. Dari gaya ini dapat diambil manfaatnya untuk
dipergunakan sebagai pemimpin dalam memimpin bawahan atau para pengikutnya.
Gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang dipergunakan oleh seseorang
pemimpin pada saat mencoba mempengaruhi perilaku orang lain atau bawahan.
Pemimpin tidak dapat menggunakan gaya kepemimpinan yang sama dalam memimpin
bawahannya, namun harus disesuaikan dengan karakter-karakter tingkat kemampuan
dalam tugas setiap bawahannya. Pemimpin yang efektif dalam menerapkan gaya
tertentu dalam kepemimpinannya terlebih dahulu harus memahami siapa bawahan
yang dipimpinnya, mengerti kekuatan dan kelemahan bawahannya, dan mengerti bagaimana caranya memanfaatkan kekuatan bawahan untuk mengimbangi
kelemahan yang mereka miliki. Istilah gaya adalah cara yang dipergunakan
pimpinan dalam mempengaruhi para pengikutnya (Thoha, 2001).
Dalam
teori jalur tujuan (Path Goal Theory) yang dikembangkan oleh Robert House
(1971, dalam Kreitner dan Kinicki, 2005) menyatakan bahwa pemimpin mendorong
kinerja yang lebih tinggi dengan cara memberikan kegiatan-kegiatan yang mempengaruhi
bawahannya agar percaya bahwa hasil yang berharga bisa dicapai dengan usaha
yang serius. Kepemimpinan yang berlaku secara universal menghasilkan tingkat
kinerja dan kepuasan bawahan yang tinggi. Dalam situasi yang berbeda
mensyaratkan gaya kepemimpinan yaitu karakteristik personal dan kekuatan
lingkungan. Teori ini juga menggambarkan bagaimana persepsi harapan dipengaruhi
oleh hubungan kontijensi diantara empat gaya kepemimpinan dan berbagai sikap
dan perilaku karyawan. Perilaku pemimpin memberikan motivasi sampai tingkat (1)
mengurangi halangan jalan yang mengganggu pencapaian tujuan, (2) memberikan
panduan dan dukungan yang dibutuhkan oleh para karyawan, dan (3) mengaitkan
penghargaan yang berarti terhadap pencapaian tujuan. Selain itu House percaya
bahwa pemimpin dapat menunjukkan lebih dari satu gaya kepemimpinan, dan
mengidentifikasikan lima gaya kepemimpinan, yaitu:
Dimana pemimpin memberitahukan kepada bawahan apa yang
diharapkan dari mereka, memberitahukan jadwal kerja yang harus diselesaikan dan
standar kerja, serta memberikan bimbingan secara spesifik tentang cara-cara
menyelesaikan tugas tersebut, termasuk di dalamnya aspek perencanaan,
organisasi, koordinasi dan pengawasan. Karakteristik pribadi bawahan mempengaruhi
gaya kepemimpinan yang efektif. Jika bawahan merasa mempunyai kemampuan yang
tidak baik, kepemimpinan instrumental (direktif) akan lebih sesuai. Sebaliknya
apabila bawahan merasa mempunyai kemampuan yang baik, gaya direktif akan
dirasakan berlebihan, bawahan akan cenderung memusuhi (Mamduh, 1997). House dan
Mitchell (1974) dalam Yukl (1989) menyatakan bahwa direktif leadership itu
memberitahukan kepada para bawahan apa yang diharapkan dari mereka, memberi
pedoman yang spesifik, meminta para bawahan untuk mengikuti peraturan-peraturan
dan prosedur-prosedur, mengatur waktu dan mengkoordinaasi pekerjaan mereka.
Sedangkan menurut Griffin (1980) dalam Yukl (1989), pegawai yang mengerjakan
tugas-tugas sulit tetapi karena kurang motivasi mereka tidak mau menerima situasi
yang ambigu ini dengan mengatur aktivitas-aktivitas mereka sendiri. Fungsi
pimpinan dalam situasi ini adalah memberikan struktur tugas dengan
merencanakan, mengorganisir, mengkoordinasi, mengarahkan, dan mengontrol kerja
anak buahnya. Sikap direktif yang demikian diperkirakan akan membuahkan
hasil-hasil yang positif.
Gaya kepemimpinan yang menunjukkan keramahan seorang
pemimpin, mudah ditemui daan menunjukkan sikap memperhatikan bawahannya (House
dan Mitchell 1974 dalam Yukl 1989). Mamduh (1997) mengatakan jika manajer ingin
meningkatkan kesatuan dan kekompakan kelompok digunakan gaya kepemimpinan
supportif. Jika bawahan tidak memperoleh kepuasan sosial dari kelompok gaya
kepemimpinan supportif menjadi begitu penting. Sedangkan Yukl (1989) mengatakan
apabila tugas tersebut terlalu menekan (stresfull), membosankan atau berbahaya,
maka supportif akan menyebabkan meningkatnya usaha dan kepuasan bawahan dengan
cara meningkatkan rasa percaya diri, mengurangi ketegangan dan meminimalisasi
aspek-aspek yang tidak menyenangkan. Kepemimpinan gaya supportif, menggambarkan
situasi dimana pegawai yang memiliki kebutuhan tinggi untuk berkembang
mengerjakan tugas-tugas yang mudah, sederhana, dan rutin. Individu seperti ini
mengharapkan pekerjaan sebagai sumber pemuasan kebutuhan, tetapi kebutuhan
mereka tidak terpenuhi. Reaksi yang mungkin timbul adalah perasaan kecewa dan
frustasi. Bukti-bukti penelitian oleh House&Mitchell (1974) dalam Yukl
(1989) dengan kuat menunjukkan bahwa pegawai yang mengerjakan tugas-tugas yang
kurang memuaskan seperti ini cenderung memberikan respon positif terhadap sikap
pimpinan yang supportif (Griffin, 1980) dalam Yukl (1989).
Gaya kepemimpinan dimana mengharapkan saran-saran dan ide
mereka sebelum mengambil suatu keputusan (House dan Mitchell 1974 dalam Yukl
1989). Apabila bawahan merasa mempunyai kemampuan yang baik, gaya kepemimpinan
direktif akan dirasa berlebihan, bawahan akan cenderung memusuhi, sehingga gaya
kepemimpinan partisipatif lebih sesuai. Jika bawahan mempunyai locus of control
yang
tinggi, ia merasa jalan hidupnya lebih banyak dikendalikan oleh dirinya bukan
oleh faktor luar seperti takdir, gaya kepemimpinan yang partisipatif lebih
sesuai (Mamduh, 1997). Vroom dan Arthur Jago (1988 dalam Yukl, 1989) mengatakan
bahwa partisipasi bawahan juga mempengaruhi dalam pengambilan keputusan oleh
pemimpin. Situasi dimana kebutuhan untuk berkembang rendah dan pegawai
mengerjakan tugas-tugas yang mudah, sikap yang dianggap tepat untuk pegawai
yang secara ego terlibat dengan pekerjaan dan mengalami kepuasan intrinsik dari
tugas yang dikerjakan adalah sikap partisipatif dan berorientasi prestasi
(Griffin, 1980 dalam Yukl, 1989).
- Gaya Orientasi Prestasi
Gaya kepemimpinan dimana pemimpin menetapkan tujuan yang
menantang dan mengharapkan bawahan untuk berprestasi semaksimal mungkin serta
terus menerus mencari pengembangan prestasi dalam pencapaian tujuan tersebut.
Yukl (1989) menyatakan bahwa tingkah laku individu didorong oleh needfor
achievementatau kebutuhan untuk berprestasi. Kepemimpinan yang berorientasi
kepada prestasi (achievement) dihipotesakan akan meningkatkan usaha
dan kepuasan bila pekerjaan tersebuttidak tersetruktur (misalnya kompleks dan
tidak diulang-ulang) dengan meningkatkan rasa percaya diri dan harapan akan
menyelesaikan sebuah tugas dan tujuan yang menantang. Kepuasan kerja lebih
tinggi diperoleh apabila telah melaksanakan prestasi kerja yang baik. Pegawai
yang memiliki kebutuhan untuk berkembang dan mengerjakan tugas-tugas sulit
berdasarkan pembahasan konseptual House&Mitchell (1974 dalam Yukl, 1989)
sikap pemimpin yang paling tepat untuk pegawai ini adalah gaya partisipatif dan
berorientasi prestasi.
- Gaya Pengasuh
Dalam kepemimpinan gaya pengasuh, sikap yang mungkin tepat
adalah campur tangan minim dari pimpinan. Dimana pemimpin hanya memantau kinerja
tetapi tidak mengawasi pegawai secara aktif. Tidak dibutuhkan banyak interaksi
antara pimpinan dengan pegawai sepanjang kinerja pegawai tidak menurun.
Pimpinan merasa lebih tepat untuk tidak campur tangan dengan tugas-tugas
pegawai (Griffin, 1980 dalam Yukl, 1989).
2.4 Kepuasan
Kerja
Kepuasan kerja merupakan sikap positif terhadap pekerjaan
pada diri seseorang. Pada dasarnyakepuasan kerja merupakan hal yang bersifat
individual. Setiap individu akan memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda
sesuai dengan sistem nilai yang berlaku pada dirinya. Biasanya orang akan
merasa puas atas kerja yang telah atau sedang dijalankan, apabila apa yang
dikerjakan dianggap telah memenuhi harapan, sesuai dengan tujuannya bekerja.
Apabila seseorang mendambakan sesuatu, berarti yang bersangkutan memiliki suatu
harapan dan dengan demikian akan termotivasi untuk melakukan
tindakan kearah pencapaian harapan tersebut. Jika harapan tersebut terpenuhi,
maka akan dirasakan kepuasan.Kepuasan kerja menunjukkan
kesesuaian antara harapan seseorang yang timbul dan imbalan yang disediakan
pekerjaan, sehingga kepuasan kerja juga berkaitan erat dengan teori keadilan,
perjanjian psikologis dan motivasi. Lebih lanjut Robbins (2006) mendefinisikan
kepuasan kerja sebagai suatu sikap umum seorang individu terhadap pekerjaannya
dimana dalam pekerjaan tersebut seseorang dituntut untuk berinteraksi dengan
rekan sekerja dan atasan, mengikuti aturan dan kebijaksanaan organisasi,
memenuhi standar kinerja. Robbins (2006) menyatakan bahwa orang dalam
melaksanakan pekerjaannya dipengaruhi oleh dua faktor yang merupakan kebutuhan,
yaitu :
1.
Maintenance
Faktors
Maintenance faktors adalah faktor-faktor pemeliharaan yang
berhubungan dengan hakikat manusia yang ingin memperoleh ketentraman badaniah.
Kebutuhan kesehatan ini menurut Herzberg merupakan kebutuhan yang berlangsung
terus menerus, karena kebutuhan ini akan kembali pada titik nol setelah
dipenuhi. Faktor-faktor pemeliharaan ini meliputi faktor-faktor :
a. Gaji atau upah (Wages or Salaries)
b. Kondisi kerja (Working Condition)
c. Kebijaksanaan dan Administrasi
perusahaan (Company Policy and Administration)
d. Hubungan antar pribadi
(Interpersonal Relation)
e. Kualitas supervisi (Quality
Supervisor)
Hilangnya faktor-faktor pemeliharaan
ini dapat menyebabkan timbulnya ketidakpuasan dan absennya karyawan, bahkan
dapat menyebabkan banyak karyawan yang keluar. Faktor-faktor pemeliharaan ini
perlu mendapat perhatian yang wajar dari pimpinan, agar kepuasan dan gairah bekerja
bawahan dapat ditingkatkan. Maintenance factor sini bukanlah merupakan motivasi
bagi karyawan, tetapi merupakan keharusan yang harus diberikan oleh pimpinan
kepada mereka, demi kesehatan dan kepuasan bawahan.
2.
Motivation
Factors
Motivation factors Adalah faktor motivator yang menyangkut
kebutuhan psikologis seseorang yaitu perasaan sempurna dalam melakukan
pekerjaan. Faktor motivasi ini berhubungan dengan penghargaan terhadap pribadi
yang secara langsung berkaitan dengan pekerjaan. Faktor motivasi ini meliputi :
a. Prestasi (Achievement)
b. Pengakuan (Recognition)
c. Pekerjaan itu sendiri (The work it
self)
d. Tanggung jawab (Responsibility)
e. Pengembangan Potensi individu
(Advancement)
f. Kemungkinan berkembang (The
possibility of growth)
Teori ini timbul paham bahwa dalam perencanaan pekerjaan
harus diusahakan sedemikian rupa, agar kedua faktor ini (faktor pemeliharaan
dan faktor motivasi) dapat dipenuhi. Banyak kenyataan yang dapat dilihat misalnya dalam suatu perusahaan, kebutuhan kesehatan mendapat
perhatian yang lebih banyak daripada pemenuhan kebutuhan individu secara
keseluruhan. Hal ini dapat dipahami, karena kebutuhan ini mempunyai pengaruh
yang dominan terhadap kelangsungan hidup individu. Kebutuhan peningkatan
prestasi dan pengakuan ada kalanya dapat dipenuhi dengan memberikan bawahan
suatu tugas yang menarik untuk dikerjakan. Ini adalah suatu tantangan bagaimana
suatu pekerjaan direncanakan sedemikian rupa, sehingga dapat menstimulasi dan
menantang si pekerja serta menyediakan kesempatan baginya untuk maju. Ada tiga
hal penting yang harus diperhatikan dalam memotivasi bawahan yaitu :
1.
Hal-hal
yang mendorong karyawan adalah “pekerjaan yang menantang yang mencakup perasaan
untuk berprestasi, bertanggung jawab, kemajuan dapat menikmati pekerjaan itu
sendiri dan adanya pengakuan atas semuanya itu.
2.
Hal-hal
yang mengecewakan karyawan adalah terutama faktor yang bersifat semu /
pura-pura saja pada pekerjaan, peraturan pekerjaan, penerangan, istirahat,
sebutan jabatan, hak, gaji, tunjangan dan lain-lainnya.
3.
Karyawan
kecewa, jika peluang untuk berprestasi terbatas. Mereka akan menjadi sensitif pada
lingkungannya serta mulai mencari-cari kesalahan.
Su’ud, Muh, 2000, “Persepsi Sosial Tentang Kredibilitas Pemimpin”, Sinergi Kajian Bisnis dan Manajemen, Vol.3, No.1. Hal 51-65
Tadjudin, 1997/1995, “Menciptakan SDM Bermutu”, Usahawan, No.1, tahun XXVI, Januari.
Thoha, M., 2001, Kepemimpinan dalam Manajemen, Suatu Pendekatan Perilaku, Rajawali Press , Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar