Indonesia terus
menunjukkan kemajuan yang pesat untuk mengangkat populasinya yang besar keluar
dari kemiskinan dan menyampaikan hasil kemajuan itu bagi seluruh warga negara.
Namun demikian, jutaan anak dan kaum perempuan masih jauh tertinggal di
peningkatan status negara menjadi negara berpenghasilan menengah dan masih
banyak yang harus dikerjakan.
Misalnya, Indonesia
masih memiliki jumlah orang tertinggi kedua yang buang air besar di tempat
terbuka karena mereka tidak memiliki jamban yang memadai. Indonesia adalah
negara ketiga terbesar dalam jumlah anak yang belum diimunisasi dan kelima
terbesar dalam jumlah anak yang menderita hambatan pertumbuhan, yang sangat
berdampak pada kemampuan mereka untuk mengembangkan potensi fisik dan mental
mereka secara penuh. Apakah seorang anak akan hidup atau meninggal, bersekolah
atau dilindungi dari penyalahgunaan banyak tergantung dari dimana mereka tinggal,
seberapa miskin keluarga mereka dan bahkan apakah ia laki-laki atau perempuan.
Kelangsungan hidup dan perkembangan anak
1.
Memprioritaskan gizi anak
Gizi buruk, terutama pertumbuhan
yang terhambat, merupakan sebuah masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia.
Untuk mengatasi tantangan itu, UNICEF mendukung sejumlah inisiatif di tahun
2012 untuk menciptakan lingkungan nasional yang kondusif untuk gizi. Ini meliputi
peluncuran Gerakan Sadar Gizi Nasional (Scaling Up Nutrition – SUN) dan mendukung
pengembangan regulasi tentang pemberian ASI eksklusif, rencana nasional untuk
mengendalikan gangguan kekurangan iodine, panduan tentang pencegahan dan pengendalian
parasit intestinal dan panduan tentang suplementasi multi-nutrient perempuan
dan anak di Klaten, Jawa Tengah. Manajemen masyarakat tentang gizi buruk akut
dan pemberian makan bayi dan anak menjelma menjadi sebuah paket holistik untuk
menangani gizi buruk, sementara pengendalian gizi anak dan malaria ditangani bersama
untuk mencegah pertumbuhan yang terhambat (stunting).
2.
Menjangkau anak dan perempuan dengan pelayanan
kesehatan berdampak besar
Di samping gizi, intervensi
kesehatan berdampak besar lainnya didukung secara nasional dan berdasar. Dengan
dukungan dari UNICEF, Cluster Island Approach, yang mengintegrasikan pelayanan
kesehatan ibu dan anak di semua kelompok di pulau-pulau terpencil, dijadikan
model di Maluku Tengah Barat. Inisiatif tersebut dikembangkan ke 11 kabupaten
di propinsi Maluku. Rumah tunggu ibu untuk ibu hamil yang beresiko juga
dimasukkan dalam inisiatif tersebut. Kemajuan juga dilakukan dalam manajemen kasus
masyarakat (Community Case Management – CCM) dari penyakit anak yang besar di
Papua, dimana CCM direplikasi melalui program Flying Health Care di delapan
kabupaten, dan secara nasional melalui pengembangan manajemen terpadu berbasis
masyarakat nasional untuk panduan penyakit anak, menggunakan pelajaran yang dipetik
di lapangan.
TEMPO.CO, Kupang - Sebanyak enam balita usia di bawah
5 tahun (balita) meninggal di Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 2014 karena
menderita gizi buruk. "Ada enam anak yang meninggal karena gizi
buruk," kata Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTT Stef Bria Seran dalam
acara workshop penguatan
jurnalis untuk advokasi di bidang kesehatan ibu dan anak, Kamis, 12 Maret 2015. Pada 2014, menurut Stef Bria,
361.696 anak ditimbang. Dari jumlah itu, 310.497 anak bergizi normal, 27.327
anak gizinya bermasalah dengan jumlah gizi kurang 23.963 balita, dan 3.351 anak
mengalami gizi buruk. Dari total balita yang mengalami gizi buruk, 13 anak
kelainan klinis yang enam di antaranya meninggal. Data ini menunjukkan kasus gizi buruk di NTT masih
ditemukan karena pola makan anak kurang diperhatikan. Karena itu, ucap dia,
jika ada balita dengan gizi buruk,
Dinas Kesehatan yang disalahkan. "Jangan kami saja yang
disalahkan jika ada balita gizi buruk," tutur Stef Bria. Sebab, kata dia, semua pihak
harus bertanggung jawab dengan adanya gizi buruk di daerah ini, seperti Dinas
Pertanian yang harus menyiapkan makanan bergizi bagi anak. Namun dia mengakui
masih tingginya angka gizi buruk di NTT karena faktor kemiskinan.
"Masyarakat miskin sulit beli makanan yang sehat untuk anak mereka,"
ucapnya. Stef Bria menjelaskan, untuk menekan angka gizi buruk, anak dengan gizi
bermasalah harus ditangani secara dini, karena jika tidak tertangani akan
menjadi gizi kurang dan gizi buruk yang berujung pada kematian.
"Penanganan harus dimulai sejak gizi anak dianggap bermasalah. Jangan
tunggu sudah gizi buruk baru mau ditangani," tuturnya. Kegiatan workshop penguatan
jurnalis untuk advokasi di bidang kesehatan Ibu dan anak melibatkan sedikitnya
22 jurnalis, seperti koresponden, kontributor, dan jurnalis media lokal.
Gizi buruk dipengaruhi
oleh banyak faktor yang saling terkait . Secara langsung dipengaruhi oleh 3 hal,
yaitu anak tidak cukup mendapat makanan bergizi seimbang, anak tidak mendapat
asupan gizi yang memadai dan anak mungkin menderita infeksi penyakit . Ketiga
penyebab langsung tersebut diuraikan sebagai berikut:
Pemberian makanan bergizi
seimbang. Bayi dan balita tidak mendapat makanan yang bergizi, dalam hal ini makanan
alamiah terbaik bagi bayi yaitu Air Susu Ibu (ASI), dan sesudah usia 6 bulan anak
tidak mendapat Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) yang tepat, baik jumlah dan
kualitasnya. MP-ASI yang baik tidak hanya cukup mengandung energi dan protein,
tetapi juga mengandung zat besi, vitamin A, asam folat, vitamin B serta vitamin
dan mineral lainnya. MP-ASI yang tepat dan baik dapat disiapkan sendiri di
rumah. Pada keluarga dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan yang rendah seringkali
anaknya harus puas dengan makanan seadanya yang tidak memenuhi kebutuhan gizi
balita karena ketidaktahuan. Pola pengasuhan anak. Suatu studi "positive deviance"
mempelajari mengapa dari sekian banyak bayi dan balita di suatu desa miskin
hanya sebagian kecil yang gizi buruk, padahal orang tua mereka semuanya petani
miskin. Dari studi ini diketahui pola pengasuhan anak berpengaruh pada
timbulnya gizi buruk. Anak yang diasuh ibunya sendiri dengan kasih sayang,
apalagi ibunya berpendidikan, mengerti soal pentingnya ASI, manfaat posyandu dan
kebersihan, meskipun sama-sama miskin, ternyata anaknya lebih sehat. Unsur
pendidikan perempuan berpengaruh pada kualitas pengasuhan anak. Sebaliknya
sebagian anak yang gizi buruk ternyata diasuh oleh nenek atau pengasuh yang juga
miskin dan tidak berpendidikan.
http://www.unicef.org/indonesia/id/UNICEF_Annual_Report_(Ind)_130731.pdf
http://www.tempo.co/read/news/2015/03/12/058649351/Gizi-Buruk-Tewaskan-Enam-Balita-di-NTT
http://kalteng.litbang.pertanian.go.id/ind/pdf/all-pdf/peternakan/fullteks/lokakarya
/pbadan07-4.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar