Rabu, 12 November 2014

PENGERTIAN ETIKA POLITIK DAN PENERAPAN ETIKA POLITIK DI INDONESIA

1.         PENGERTIAN ETIKA
Secara etimologi “etika” berasal dari bahasa Yunani yaitu “ethos” yang berarti watak, adat ataupun kesusilaan. Jadi etika pada dasarnya dapat diartikan sebagai suatu kesediaan jiwa seseorang untuk senantiasa patuh kepada seperangkat aturan-aturan kesusilaan (Kencana Syafiie, 1993). Dalam konteks filsafat, etika membahas tentang tingkah laku manusia dipandang dari segi baik dan buruk. Etika lebih banyak bersangkut dengan prinsip-prinsip dasar pembenaran dalam hubungan dengan tingkah laku manusia (Kattsoff, 1986).
Etika adalah ilmu yang membahas  tentang  bagaimana  dan  mengapa  kita mengikuti suatu ajaran tertentu atau bagaimana kita bersikap dan bertanggung jawab  dengan berbagai ajaran moral. Etika termasuk kelompok filsafat praktis yang dibagi menjadi dua kelompok, yaitu etika umum dan etika khusus. Etika merupakan suatu pemikiran kritis yang mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Kedua kelompok etika itu adalah sebagai berikut :
a.         Etika Umum, mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan
manusia.
b.    Etika Khusus, membahas prinsip-prinsip tersebut di atas dalam hubungannya dengan berbagai aspek kehidupan manusia, baik sebagai individu (etika individual)
maupun  mahluk sosial (etika sosial).

2.         PENGERTIAN POLITIK
Pengertian politik berasal dari kata ‘politics’ yang memiliki bermacam-macam makna kegiatan dalam suatu sistem politik atau ‘negara’, yang menyangkut proses penentuan tujuan-tujuan dari sistem itu dan diikuti dengan pelaksanaan tujuan-tujuan itu. Untuk melaksanakan tujuan-tujuan itu perlu ditentukan kebijaksanaan umum atau public policies, yang menyangkut peraturan dan pembagian atau distribusi dari sumber-sumber yang ada. Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat dan bukan tujuan pribadi. Selain itu politik menyangkut krgiatan berbagai kelompok termasuk partai politik, lembaga masyarakat maupun perorangan. Berdasarkan pengertian-pengertian pokok tentang politik maka secara operasional bidang politik menyangkut konsep-konsep pokok yang berkaitan dengan negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijakan (policy), pembagian (distribution), serta alokasi (allocation) (Budiardjo, 1981: 8,9).

3.         PENGERTIAN ETIKA POLITIK
Setelah penjelasan kedua poin di atas, maka tibalah pada intisari penting, yaitu etika politik. Secara substantif pengertian etika politik tidak dapat dipisahkan dengan subjek sebagai pelaku etika, yakni manusia. Oleh karena itu etika politik berkaitan erat dengan bidang pembahasan moral. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa pengertian “moral” senantiasa menunjuk kepada manusia sebagai subjek etika. Dapat disimpulkan bahwa dalam hubungannya dengan masyarakat bangsa maupun negara, etika politik tetap meletakkan dasar fundamental manusia sebagai manusia. Dasar ini lebih meneguhkan akar etika politik bahwa kebaikan senantiasa didasarkan kepada hakikat manusia sebagai makhluk beradab dan berbudaya.
Berdasarkan suatu kenyataan bahwa masyarakat, bangsa, maupun negara bisa berkembang ke arah keadaan yang tidak baik dalam arti moral. Misalnya suatu negara yang dikuasai oleh penguasa atau rezim yang otoriter. Dalam suatu masyarakat negara yang demikian ini maka seseorang yang baik secara moral kemanusiaan akan dipandang tidak baik menurut negara serta masyarakat negara. Oleh karena itu aktualisasi etika politik harus senantiasa mendasarkan kepada ukuran harkat dan martabat manusia sebagai manusia (Suseno, 1987: 15).

4.         NILAI-NILAI PANCASILA SEBAGAI SUMBER ETIKA POLITIK
Sebagai dasar filsafat Negara Pncasila tidak hanya merupakan sumber derivasi peraturan perundang-undangan, melainkan juga merupakan sumber moralitas terutama dalam hubungannya dengan legtimasi kekuasaan, hukum serta berbagai macam kebijakan dalam pelaksanaan dan penyelenggearaan Negara. Sila pertama ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ serta sila kedua ‘Kemanusiaan yang Adil dan Beradab’ merupakan sumber nilai-nilai moral bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Negara Indonesia berdasarkan sila pertama bukanlah Negara yang ‘Teokrasi’ yang mendasarkan kekuasaan Negara pada legitimasi religious, melainkan berdasarkan legitimasi hukum serta legitimasi demokrasi. Oleh karena itu asas sila pertama lebih berkaitan dengan legitimasi moral. Hal ini lah yang membedakan Negara Berketuhanan Yang Maha Esa dengan Negara Teokrasi. Walaupun dalam Negara Indonesia tidak mendasarkan pada legitimasi religious, namun secara moralitas kehidupan Negara harus sesuai dengan nilai-nilai yang berasal dari Tuhan terutama hukum serta moral dalam kehidupan Negara.
Selain sila pertama, sila kedua juga merupakan sumber nilai-nilai moralitas dalam kehidupan Negara. Negara pada prinsipnya adalah merupakan persekutuan hidup manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Bangsa Indonesia sebagai bagian dari umat manusia di dunia hidup secara bersama dalam suatu wilayah tertentu, dengan suatu cita-cita dan prinsip-prinsip hidup demi kesejahteraan bersama (Sila Ketiga). Oleh karena itu manusia pada hakikatnya merupakan asas yang bersifat fundamental dalam kehidupan Negara. Manusia adalah merupakan dasar kehidupan serta pelaksanaan dan penyelenggaraan Negara. Oleh karena itu asas-asas kemanusiaan adalah bersifat mutlak dalam kehidupan Negara dan hukum. Selain itu asas manusia juga harus merupakan prinsip dasar moralitas dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan Negara.
Selain itu dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan Negara harus berdasarkan legtimasi hukum yaitu prinsip ‘legalitas’. Negara Indonesia adalah Negara hukum oleh karena itu keadilan dalam hidup bersama (keadilan sosial) sebagai mana terkandung dalam sila kelima, adalah merupakan tujuan dari kehidupan Negara. Oleh karena itu segala kebijakan, kekuasaan, kewenangan serta pembagian senantiasa harus berdasarkan atas hukum yang berlaku. Pelanggaran atas prinsip-prinsip dalam kehidupan kenegaraan akan menimbulkan ketidakseimbangan dalam kehidupan Negara.
Negara adalah berasal dari rakyat dan segala kebijakan dan kekuasaan yang dilakukan senantiasa untuk rakyat (sila keempat). Oleh karena itu rakyat merupakan asal mula kekuasaan Negara. Maka dalam pelaksanaan politik praktis hal-hal yang menyangkut kekuasaan eksekutif, legislatif serta yudikatif konsep pengambilan keputusan, pengawasan serta partisipasi harus berdasarkan legitimasi dari rakyat, atau dengan kata lain harus memiliki ‘legitimasi demokrasi’.
Prinsip-prinsip dasar etika politik itu dalam realisasi praksis dalam kehidupan kenegaraan senantiasa dilaksanakan secara korelatif diantara ketiganya. Kebijaksanaan serta keputusan yang diambil dalam pelaksanaan kenegaraan baik menyangkut politik dalam negeri maupun luar negeri, ekonomi baik nasional maupun global, yang menyangkut rakyat dan lainnya selain berdasarkan hukum yang berlaku (legitimasi hukum), harus mendapat legitimasi rakyat (legitimasi demokrasi) dan juga harus berdasarkan prinsip-prinsip moralitas (legitimasi moral).
Etika politik ini juga harus direalisasikan oleh setiap individu yang terlibat secara kongkrit dalam pelaksanaan pemerintah Negara. Para pejabat eksekutif, anggota legislatif, maupun yudikatif, para pejabat Negara baik DPR maupun MPR aparat pelaksana dan penegak hukum harus menyadari bahwa selain legitimasi hukum dan legitimasi demokrasi juga harus berdasar pada legitimasi moral. Misalnya suatu kebijakan itu sesuai dengan hukum belum tentu seuai dengan moral, contohnya gaji para pejabat Negara sesuai dengan hukum tetapi bila dilihat dari keadaan Negara maka hal tersebut tidak sesuai secara moral.
  1.   Legitimasi Sosiologis
Paham sosiologis tentang legitimasi. Mempertanyakan motivasi motivasi apakah yang nyata-nyata membuat masyarakat mau menerima kekuasaan atau wewenag seseorang, sekelompok orang atau penguasa. Magnis-Suseno menyebutkan motivasi penerimaan kekuasaan sebagaimana dirumuskan oleh Weber yaitu:
(1) “Legitimasi Tradisional” yakni keyakinan dalam suatu masyarakat tradisonal, bahwa pihak yang menurut tradisi lama memegang pemerintahan memang berhak untuk memerintah, misalnya golongan Bangsawan atau keluarga raja dan memang patut untuk ditaati.
(2) “Legitimasi Kharismatik” Berdasarkan perasaan kagum, hormat, dan cinta masyarakat terhadap seseorang pribadi yang sangat mengesankan sehingga masyarakat bersedia taat kepadanya.
(3) “Legitimasi rasional-Legal” Berdasarkan kepercayaan pada tatanan hukum rasional yang melandasi kedudukan seseorang atau penguasa.
b.   Legalitas
Suatu tindakan adalah legal apabila dilakukan sesuai dengan hokum atau peraturan yang berlaku. Jadi legalitas adalah kesesuaian dengan hokum yang berlaku. Legalitas menuntut agar kekuasaan ataupun wewenang dilaksanakan sesuai hukum yang berlaku. Jadi suatu tindakan adalah sah apabila sesuai, tidak sah apabila tidak sesuai dengan hukum yang berlaku. Karena itu legalitas merupakan salah satu criteria keabsahan suatu kekuasaan atau wewenang.
c.       Legitimasi Etis
Legitimasi etis mempersoalkan keabsahan wewenang ataupun kekuasaan politik dari segi norma-norma moral. Legitimasi ini muncul dalam konteks bahwa setiap tindakan pemerintah apakah Legislatif, Eksekutif maupun Yudikatif dipertanyakan dari segi norma-norma moral. Pertanyaan yang timbul merupakan unsur penting untuk mengarahkan “kekuasaan” dalam menggunakan kebijakan kebijakan yang semakin sesuai tuntutan kemanusian yang adil dan beradab.
d.       Legitimasi Kekuasaan
Pokok permasalahan etika politik adalah legitimasi etis kekuasaan. Sehingga penguasa memiliki kekuasaan dan masyarakat berhak untuk menuntut pertanggung jawaban. Kewibawaan penguasa yang paling meyakinkan adalah keselarasan social, yakni tidak terjadi keresahan dalam masyarakat. Segala bentuk kritik, ketidakpuasan, tantangan, perlawanan, dan kekacauan menandakan bahwa masyarakat resah. Sebaliknya, keselarasan akan tampak apabila masyarakat merasa tenang, tentram dan sejahtera. Jadi secara etika politik seorang penguasa yang sesungguhnya adalah keluhuran budinya.
e.       Legitimasi Moral dalam Kekuasaan
Legitimasi etis mempersoalkan keabsahan kekuasaan politik dari segi norma-norma moral. Legitimasi ini muncul dalam konteks bahwa setiap tindakan Negara baik legislatif maupun eksekutif dapat dipertanyakan dari segi norma-norma moral. Tujuannya adalah agar kekuasaan itu mengarahkan kekuasaan kepamakaian kebijakan dan cara-cara yang semakin sesuai dengan tuntutan tuntutan kemanusiaan yang adil dan beradab. Moralitas kekuasaan lebih banyak ditentukan oleh nilai-nilai yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat. Apabila masyarakatnya adalah masyarakat yang religius, maka ukuran apakah penguasa itu memiliki etika politik atau tidak tidak lepas dari moral agama yang dianut oleh masyarakatnya.

5.         ANALASIS PRO TERHADAP KENAIKAN BBM
Kepada masyarakat diberikan gambaran bahwa setiap kali harga minyak mentah di pasar internasional meningkat, dengan sendirinya pemerintah harus mengeluarkan uang ekstra, dengan istilah “untuk membayar subsidi BBM yang membengkak”. Harga BBM yang dikenakan pada rakyat Indonesia tidak selalu sama dengan ekuivalen harga minyak mentahnya. Bilamana harga BBM lebih rendah dibandingkan dengan ekuivalen harga minyak mentahnya di pasar internasional, dikatakan bahwa pemerintah merugi, memberi subsidi untuk perbedaan harga ini. Lantas dikatakan bahwa “subsidi” sama dengan uang tunai yang harus dikeluarkan oleh pemerintah, sedangkan pemerintah tidak memilikinya. Maka APBN akan jebol, dan untuk menghindarinya, harga BBM harus dinaikkan.

Kebijakan itu dikeluarkan setelah melalui kajian dan berbagai pertimbangan yang masak serta dengan memperhitungkan dampak positif dan negatifnya yang memang pada akhirnya kenaikan harga BBM lah yang dianggap paling tepat untuk dilakukan. Tujuannya bukan hanya untuk menyelamatkan APBN, tapi juga untuk menyelamatkan penyelenggaraan kegiatan negara lainnya seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, sosial, ekonomi dan lainnya. Bahkan Kadin ikut menganjurkan agar pemerintah menaikkan harga BBM untuk memberikan kepastian bagi dunia usaha. Dari kalangan masyarakat yang setuju dengan kenaikan BBM antara lain diperoleh pendapat bahwa harga BBM wajar naik karena harga minyak mentah yang merupakan bahan pokoknya juga meningkat. Pendapat lain mengatakan harga BBM perlu naik agar masyarakat berhemat dan efisien dalam menggunakan BBM. Sementara seorang PNS mengatakan bahwa ia setuju harga BBM naik, karena mengurangi subsidi untuk BBM yang akan terbuang percuma, lebih baik dana subsidi digunakan untuk kesehatan atau pendidikan. Pendapat yang lebih ekstreem berpendapat bahwa sebaiknya subsidi sebaiknya dihapus, dananya dialihkan untuk BLT dan harga BBM disesuaikan dengan harga pasar. 

Kaelan. 2010. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.
Kattsoff, Louis O., 1986, Pengantar Filsafat, dialihbahasakan oleh: Soejono Soemargono, Tiara Wacana, Yogyakarta.
Suseno Von Magnis, 1978, Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. PT. Gramedia, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar