Rabu, 05 November 2014

PENGERTIAN ETIKA SEBAGAI SALAH SATU CABANG FILSAFAT PRAKTIS DAN DIKEMBANGKAN PENGERTIAN PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA

PENGERTIAN ETIKA SEBAGAI SALAH SATU CABANG FILSAFAT PRAKTIS DAN DIKEMBANGKAN PENGERTIAN PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA


1.            Latar Belakang
Pembahasan etika meliputi nilai etika dan norma etika, membicarakan perilaku manusia dalam hidupnya. Sebagai cabang filsafat, etika sangat menekankan pendekatan kritis dalam melihat nilai etika dan mengenai norma etika. Etika merupakan sebuah refleksi kritis dan rasional mengenai nilai etika dan pola perilaku hidup manusia. Etika membicarakan soal nilai yang merupakan salah satu dari cabang filsafat. Etika bermaksud membantu manusia untuk bertindak secara bebas dan dapat dipertanggung jawabkan karena setiap tindakannya selalu dipertanggung jawabkan.
Etika sebagai cabang filsafat merupkan sebuah peranan seperti halnya agama, politik, bahasa, dan ilmu-ilmu pendukung yang telah ada sejak dahulu kala dan diwariskan secara turun temurun. Etika sebagai cabang filsafat menjadi refleksi krisis terhadap tingkah laku manusia, maka etika tidak bermaksud untuk membuat orang bertindak sesuatu dengan tingkah laku bagus saja. Ia harus bertindak berdasarkan pertimbangan akal sehat, apakah bertentangan atau membangun tingkah laku baik.

2.            Pengertian Filsafat
Pengertian filsafat dalam sejarah perkembangan pemikiran kefilsafatan antara satu ahli filsafat dan ahli filsafat lainnya selalu berbeda dan hampir sama banyaknya dengan ahli filsafat itu sendiri. Menurut Surajiyo Pengertian filsafat dapat ditinjau dari dua segi, yakni secara etimologi dan terminologi (Surajiyo: 2010).
a.       Arti Secara Etimologi
Filsafat dari kata philo yang berarti cinta dan kata sophos yang berarti ilmu atau hikmah. Secara etimologi filsafat berarti cinta terhadap ilmu dan hikmah. Dalam hubungan ini al-Syabani berpendapat, bahwa filsafat bukanlah hikmah melainkan cinta terhadap hikmah dan berusaha mendapatkannya, memusatkan perhatian padanya dan menciptakan sikap positif terhadapnya. Untuk itu ia mengatakan bahwa filsafat berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat dan berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia.
b.      Arti Secara Terminologi
Menurut istilah (terminologi) filsafat adalah cinta terhadap hikmah dan berusaha mendapatkan falsafah Islam, memusatkan perhatian pada falsafah Islam dan menciptakan sikap positif terhadap falsafah Islam. Filsafah Islam merupakan medan pemikiran yang terus berkembang dan berubah. Dalam kaitan ini, diperlukan pendekatan historis terhadap filsafat islam yang tidak hanya menekankan pada studi tokoh, tetapi yang lebih penting lagi adalah memahami proses dialektik pemikiran yang berkembang melalui kajian-kajian tematik atas persoalan-persoalan yang terjadi pada setiap zaman. Istilah filsafat dapat ditinjau dari dua sagi, yaitu:
1)         Segi semantik: filsafat berasal dari bahasa Arab yaitu falsafah. Dari bahasa Yunani yaitu philosophia, yaitu pengetahuan hikmah (wisdom). Jadi, philosophia berarti cinta pengetahuan, kebijaksanaan dan kebenaran. Maksudnya ialah orang menjadikan pengetahuan sebagai tujuan hidupnya dan mengabadikan dirinya kepada pengetahuan.
2)         Segi praktis, filsafat yaitu alam pikiran artinya berfilsafat itu berpikir. Orang yang berpikir tentang filsafat disebut filosof, yaitu orang yang memikirkan hakikat segala sesuatu dengan sungguh-sungguh di dalam tugasnya. Filsafat merupakan hasil akal manusia yang mencari dan memikirkan suatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya. Jadi, filsafat adalah ilmu yang mempelajari dengan sungguh-sungguh hakikat kebenaran segala sesuatu. (M. Yatimin Abdullah: 2006)
Pengertian lain Burhanuddin Salam (2009) dalam pengantar filsafatnya  mengemukakan pengertian filsafat dalam arti sempit dan dalam arti yang luas. Arti sempit dari filsafat, filsafat diartikan suatu ilmu yang berhubungan dengan metode logis atau analisis logika bahasa dan makna-makna, filsafat diartikan sebagai “Science of science”, di mana tugas utamanya memberikan analisis kritis terhadap asumsi-asumsi dan konsep-konsep ilmu, dan mengadakan sistematisasi atau pengorganisasian pengetahuan. Dalam pengertian yang lebih luas, filsafat mencoba mengintegrasikan pengetahuan manusia dari berbagai lapangan pengalaman manusia yang berbeda-beda dan menjadikan suatu pandangan yang komprehensif tentang alam semesta, hidup dan makna hidup. Selanjutnya beliau secara singkat mengemukakan makna daripada filsafat, yaitu:
1.      Filsafat adalah suatu sikap tentang hidup dan tentang alam semesta
2.      Filsafat ialah suatu metode berpikir reflektif, dan penelitian penalaran
3.      Filsafat ialah suatu perangkat masalah-masalah
4.      Filsafat ialah seperangkat teori dan sistem berpikir. (Burhanuddin Salam: 2009)

3.      Hubungan Etika dengan Ilmu Filsafat
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha mengkaji segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada dengan menggunakan pikiran. Bagian-bagian dari hal tersebut meliputi:
a.       Metafisika yaitu kajian dibalik alam yang nyata,
b.      Kosmologia yaitu kajian tentang alam,
c.       Logika yaitu pembahasa tentang cara berpikir cepat dan tepat,
d.      Etika yaitu pembahasan tentang tingkah laku manusia,
e.       Teologi yaitu pembahasan tentang ketuhanan,
f.       Antropologi yaitu pembahasan tentang manusia.
Hal diatas menjelaskan bahwa etika termasuk salah satu komponen dalam filsafat. Banyak ilmu yang pada mulanya merupakan bagian dari filsafat, tetapi karena ilmu tersebut kian meluas dan berkambang, akhirnya membentuk disiplin ilmu tersendiri dan terlepas dari filsafat. Demikian juga etika, dalam proses perkembangannya sekalipun masih diakui sebagai bagian dalam pembahasan filsafat, ia merupakan ilmu yang mempunyai identitas sendiri. (Alfan: 2011)
    Hubungan etika dengan ilmu filsafat menurut Ibnu Sina seperti indera bersama, estimasi dan rekoleksasi yang menolong jiwa manusia untuk memperoleh konsep-konsep dan ide-ide dari alam sekelilingnya. Jika manusia telah mencapai kesempurnaan sebelum ia berpisah dengan badan, maka ia selamanya akan berada dalam kesenangan. Jika ia berpisah dengan badan dalam keadaan tidak sempurna, ia selalu dipengaruhi hawa nafsu. Ia hidup dalam keadaan menyesal dan terkutuk untuk selama-lamanya di akhirat.
Pemikiran filsafat tentang jiwa yang dikemukakan Ibnu Sina memberi petunjuk dalam pemikiran filsafat terhadap bahan-bahan atau sumber yang dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi konsep ilmu etika.
    Ibn Khaldun dalam melihat manusia mendasarkan pada asumsi-asumsi kemanusiaan yang sebelumnya lewat pengetahuan yang ia peroleh dalam ajaran Islam. Ia melihat sebagai mekhluk berpikir. Oleh karena itu, manusia mampu melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sifat-sifat semacam ini tidak dimiliki oleh makhluk-makhluk lainnya. Lewat kemampuan berfikirnya itu, manusia tidak hanya membuat kehidupannya, tetapi juga menaruh perhatian pada berbagai cara guna memperoleh makna hidup. Proses-proses semacam ini melahirkan peradaban. Dalam pemikiran ilmu, Ibn Khaldun tampak bahwa manusia adalah makhluk budaya yang kesempurnaannya baru akan terwujud manakla ia berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Ini menunjukan tentang perlunya pembinaan manusia, termasuk dalam membina etika. Gambaran tentang manusia yang terdapat dalam pemikiran filosofis itu akan memberikan masukan yang amat berguna dalam merancang dan merencanakan tentang cara-cara membina manusia, memperlakukannya, dan berkomunikasi dengannya. Dengan cara demikian akan tercipta pola hubungan yang dapat dilakukan dalam menciptakan kehidupan yang aman dan damai (M. Yatimin Abdullah: 2006).
Etika sebagai cabang filsafat dapat dipahami bahwa istilah yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktifitas manusia dengan nilai ketentuan baik atau buruk. Etika memiliki objek yang sama dengan filsafat, yaitu sama-sama membahas tentang perbuatan manusia. Filsafat sebagai pengetahuan berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya berdasarkan pikiran (Yatimin: 2006).

4.    Etika Sebagai Ciri Khas Filsafat
      Etika filsafat merupakan ilmu penyelidikan bidang tingkah laku manusia yaitu menganai kewajiban manusia, perbuatan baik buruk dan merupakan ilmu filsafat tentang perbuatan manusia. Banyak perbuatan manusia yang berkaitan dengan baik atau buruk, tetapi tidak semua perbuatan yang netral dari segi etikanya. Contoh, bila di pagi hari saya menganakan lebih dulu sepatu kanan dan kemudian sepatu kiri, perbuatan itu tidak mempunyai hubungan baik atau buruk. Boleh saja sebaliknya, sepatu kiri dulu baru kemudian sepatu kanan. Cara itu baik dari sudut efisiensi atau lebih baik karena cocok dengan motorik saya, tetapi cara pertama atau kedua tidak lebih baik atau lebih buruk dari sudut etika. Perbuatan itu boleh disebut tidak mempunyai relevansi etika
      Immanuel Kant (1724-1804) berpendapat bahwa manusia mempunyai perasaan etika yang tertanam dalam jiwa dan hati sanubarinya. Orang merasa bahwa ia mempunyai kewajiban untuk menjauhi perbuatan buruk dan menjalankan perbuatan baik. Etika filsafat merupakan suatu tindakan manusia yang bercorak khusus, yaitu didasarkan kepada pengertiannya mengenai baik dan buruk. Etika sebagai cabang filsafat sebenarnya yang membedakan manusia daripada makhluk Tuhan lainnya dan menempatkannya bila telah menjadi tertib pada derajat di atas mereka. (M. Yatimin Abdullah: 2006).
Sebagaimana yang telah dipaparkan oleh Mohamad Mufid: 2009 bahwa etika sering disebut filsafat moral. Etika merupakan cabang filsafat yang berbicara mengenai tindakan manusia dalam kaitannya dengan tujuan utama hidupnya. Etika membahas baik-buruk atau benar-tidaknya tingkah laku dan tindakan manusia serta sekaligus menyoroti kewajiban-kewajiban manusia. Etika mempersoalkan bagaimana manusia seharusnya berbuat atau bertindak. Etika menyelidiki dasar semua norma moral. Dalam etika biasanya dibedakan antara etika deskriptif dan etika normatif.
1.      Etika Deskriptif
Etika deskriptif menguraikan dan menjelaskan kesadaran-kesadaran dan penngalaman moral secara deskriptif. Ini dilakukan dengan bertitik pangkal pada kenyataan bahwa terdapat beragam fenomena moral yang dapat digambarkan dan diuraikan secara ilmiah. Etika deskriptif berupaya menemukan dan menjelaskan kesadaran, keyakinan dan pengalaman moral dalam suatu kultur tertentu. Etika deskriptif dibagi menjadi dua, yaitu:
a.     Sejarah moral, yang meneliti cita-cita, aturan-aturan dan norma-norma moral yang pernah berlaku dalam kehidupan manusia dalam kurun waktu dan tempat tertentu.
b.    Fenomenologi moral, yang berupaya menemukan arti dan makna moralitas dari beragam fenomena ysng ada. Fenomenologi moral berkepentingan untuk menjelaskan fenomena moral yang terjadi masyarakat. Ia tidak memberikan petunjuk moral dan tidak mempersalahkan apa yang salah.

2.   Etika Normatif
Etika normatif dipandang sebagai suatu ilmu yang mengadakan ukuran atau norma yang dapat dipakai untuk menanggapi menilai perbuatan. Etika ini dapat menjelaskan tentang nilai-nilai yang seharusnya dilakukan serta memungkinkan manusia untuk mengukur tentang apa yang terajdi.
Etika normatif menagandung dua bagian besar, yaitu: pertama membahas tentang teori nilai (theory of value) dan teori keharusan (theory of obligation). Kedua, membahas tentang etika teologis dan etika deontelogis. Teori nilai mempersoalkan tentang sifat kebaikan, sedangkan teorin keharusan membahas tingkah laaku. Sedangkan etika teolog berpendapat bahwa moralitas suatu tindakan ditentukan oleh konsekuensinya. Adapun deontologis berpendapat bahwa moralitas suatu tindakan ditentukan oleh sebab-sebab yang menjadi dorongan dari tindakan itu, atau ditetukan oleh sifat-sifat hakikinya atau oleh keberadaannya yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan prinsip-prinsip tertentu. (Muhammad In’am Esha, 2010)

5.      Hakikat Etika Filsafat
Etika filsafat sebagai  cabang ilmu, melanjutkan kecenderungan seseorang dalam hidup sehari-hari. Etika filsafat merefleksikan unsur-unsur tingkah laku dalam pendapat-pendapat secara sepontan. Kebutuhan refleksi itu dapat dirasakan antara lain karena pendapat etik tidak jarang berbeda dengan pendapat orang lain.
Etika filsafat termasuk salah satu cabang ilmu filsafat dan malah dikenal sebagai salah satu cabang filsafat yang paling tua. Dalam konteks filsafat yunani kuno etika filsfat sudah terbentuk terbentuk dengan kematangan yang mengagumkan. Etika filsafat merupakan ilmu, tetapi sebagai filsafat ia tidak merupakan suatu ilmu emperis, artinya ilmu yang didasarkan pada fakta dan dalam pembicaraannya tidak pernah meniggalkan fakta. Ilmu-ilmu itu bersifat emperis, karena seluruhna berlangsung dalam rangka emperis (pengalaman inderawi) yaitu apa yang dapat dilihat, didengar, dicium, dan dirasakan. Ilmu emperis berasal dari observasi terhadap fakta-fakta dan jika ia berhasil merumuskan hukum-hukum ilmiah, maka kebenaran hukum-hukum itu harus diuji lagi dengan berbalik kepada fakta-fakta. Dibandingkan dengan ilmu-ilmu lain, etika filsafat tidak membatasi gejala-gejala konkret. Tentu saja, filsafat berbicara juga tentang yang konkret, kadang-kadang malah tentang hal-hal yang amat konkret, tetapi ia tidak berhenti di situ.
Etika filsafat  juga bukan filsafat praktis dalam arti ia menyajikan resep-resep yang siap pakai. Buku etika tidak berupa buku petunjuk yang dapat dikonsultasikan untuk mengatasi kesulitan etika buruk yang sedang dihadapi. Etika filsafat merupakan suatu refleksi tentang teman-teman yang menyangkut perilaku. Dalam etika filsafat diharapkan semuah orang dapat menganalisis tema-tema pokok seperti hati nurani, kebebasan, tanggung jawab, nilai, norma, hak, kewajiban, dan keutamaan.
Di kalangan orang-orang kebanyakan, sering kali etika filsafat tidak mempunyai nama harum. Tidak jarang ia dituduh mengawang-awang saja, karena membahas hal-hal yang abstrak dan kurang releven  untuk hidup sehari-hari. Banyak uraian etika filsafat dianggap tidak jauh dari kenyataan sesungguhnya. Itulah hakikat filsafat mengenai etika. Disini tidak perlu diselidiki sampai dimana prasangka itu mengandung kebenaran. Tetapi setidak-tidaknya  tentang etika sebagai cabang filsafat  dengan mudah dapat disebut dan disetujui relevansinya bagi banyak persoalan yang dihadapi umat manusia. (M. Yatimin Abdullah: 2006) 
Etika pada hakikatnya mengamati realitas moral secara kritis. Etika tidak memberikan ajaran melainkan memeriksa kebiasaan, nilai, norma, dan pandangan-pandangan moral secara kritis. Etika menuntut pertanggungjawaban dan mau menyingkatkan kerancuan (kekacauan). Etika tidak membiarkan pendapat-pendapat moral yang dikemukakan dipertanggungjawabkan. Etika berusaha untuk menjernihkan permasalahan moral, sedangkan kata moral selalu mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia. Bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Norma-norma moral adalah tolak ukur untuk menentukan betul salahnya sikap dan tindakkan manusia dilihat dari segi baik buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu dan terbatas. (Surajiyo: 2005)


 DAFTAR PUSTAKA


Abdullah, M. Yatimin. 2006. Studi Etika. Jakarta. Rajawali Perss.
Alfan, Muhammad. 2011. Filsafat Etika Islam. Bandung. Pustaka Setia.
Esha, Muhammad In’am. 2010. Menuju Pemikiran Filsafat. Jakarta. Maliki Perss.
Surajiyo. 2005. Ilmu Filsafat. Jakarta. Bumi Aksara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar