Rabu, 26 November 2014

Tinjauan Pustaka Metode Penelitian

PROPOSAL PENELITIAN

“Pengaruh Gaya Kepemimpinan terhadap Tingkat Kinerja Karyawan"
BAB II Tinjauan Pustaka

2.1    Kinerja Karyawan
Kinerja merupakan kondisi yang harus diketahui dan diinformasikan kepada pihak-pihak tertentu untuk mengetahui tingkat pencapaian hasil suatu instansi dihubungkan dengan visi yang diemban suatu organisasi serta mengetahui dampak positif dan negatif suatu kebijakan operasional yang diambil. Dengan adanya informasi mengenai kinerja suatu instansi pemerintah, akan dapat diambil tindakan yang diperlukan seperti koreksi atas kebijakan, meluruskan kegiatan-kegiatan utama, dan tugas pokok instansi, bahan untuk perencanaan, menentukan tingkat keberhasilan instansi untuk memutuskan suatu tindakan, dan lain-lain. Kinerja didefinisikan sebagai kontribusi terhadap hasil akhir organisasi dalam kaitannya dengan sumber yang dihabiskan (Bain, 1982 dalam McNeese-Smith, 1996) dan harus diukur dengan indikator kualitatif dan kuantitatif (Belcher,1987; Cohen 1980 dalam McNeese-Smith, 1996). Maka pengembangan instrument dilakukan untuk menilai persepsi pekerjaan akan kinerja diri mereka sendiri dalam kaitannya dengan item-item seperti out put, pencapaian tujuan, pemenuhan deadline, penggunaan jam kerja dan ijin sakit (Sukarno, 2002). Kinerja menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sesuatu yang hendak dicapai, prestasi yang diperlihatkan dan kemampuan kerja. Kinerja dipergunakan manajemen untuk melakukan penilaian secara periodik mengenai efektivitas operasional suatu oganisasi dan karyawan berdasarkan sasaran, standar dan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan kinerja, organisasi dan manajemen dapat mengetahui sejauhmana keberhasilan dan kegagalan karyawannya dalam menjalankan amanah yang diterima.
Bass dan Avolio (1990) menjelaskan bahwa dalam organisasi formal, kinerja karyawan secara individual atau kelompok tergantung pada usaha mereka dan arah serta kompetensi dan motivasi untuk menunjukkan performansi sesuai yang diharapkan untuk mencapai sasaran berdasarkan posisi mereka di dalam sistem (Alimuddin, 2002). Untuk dapat mengetahui kinerja seseorang atau organisasi, perlu diadakan pengukuran kinerja. Menurut Stout (BPKP, 2000), pengukuran kinerja merupakan proses mencatat dan mengukur pencapaian pelaksanaan kegiatan dalam arah pencapaian misi (mission accomplishment) melalui hasil-hasil yang ditampilkan berupa produk, jasa ataupun suatu proses. Maksudnya setiap kegiatan organisasi harus dapat diukur dan dinyatakan keterkaitannya dengan pencapaian arah organisasi di masa yang akan datang yang dinyatakan dengan pencapaian visi dan misi organisasi. Produk dan jasa yang dihasilkan akan kurang berarti apabila tidak ada kontribusinya terhadap pencapaian visi dan misi organisasi. Melalui pengukuran kinerja diharapkan pola kerja dan pelaksanaan tugas pembangunan dan tugas umum pemerintahan akan terlaksana secara efesien dan efektif dalam mewujudkan tujuan nasional. Pengukuran kinerja pegawai akan dapat berguna untuk: (1) mendorong orang agar berperilaku positif atau memperbaiki tindakan mereka yang berada di bawah standar kinerja, (2) sebagai bahan penilaian bagi pihak pimpinan apakah mereka telah bekerja dengan baik, dan (3) memberikan dasar yang kuat bagi pembuatan kebijakan untuk peningkatan organisasi (BPKP, 2000). Dalam pengukuran kinerja (performance measurement) organisasi hendaknya dapat menentukan aspek-aspek apa saja yang menjadi topik pengukurannya. Miner (Sainul, 2002) menetapkan komponen variabel pengukuran kinerja ke dalam 3 kelompok besar, yaitu: (1) berkaitan dengan karakteristik kualitas kerja pegawai; (2) berkaitan dengan kuantitas kerja pegawai; dan (3) berkaitan dengan kemampuan bekerjasama dengan pegawai lainnya. Ketiga indikator pengukuran kinerja tersebut akan digunakan sebagai acuan dalam mengukur kinerja pegawai di lingkungan instansi RSUD Kota Semarang. Kinerja karyawan mengacu pada mutu pekerjaan yang dilakukan oleh
karyawan didalam implementasi mereka melayani program sosial. Memfokuskan pada asumsi mutu bahwa perilaku beberapa orang yang lain lebih pandai daripada yang lainnya dan dapat diidentifikasi, digambarkan, dan terukur. Aspek dalam kinerja karyawan adalah sebagai berikut:

a.Proaktif dalam pendekatan pekerjaan
b.Bermanfaat dari pengawasan
c.Merasa terikat dalam melayani klien
d.Berhubungan baik dengan staff lain
e.Menunjukkan ketrampilan dan pengetahuan inti bekerja aktivitas
f.Menunjukkan kebiasaan bekerja yang baik
g.Mempunyai sikap positif dalam pekerjaan
Kinerja karyawan mengacu pada prestasi kerja karyawan diukur berdasarkan standar atau kriteria yang telah ditetapkan perusahaan. Pengelolaan untuk mencapai kinerja karyawan yang sangat tinggi terutama untuk meningkatkan kinerja perusahaan secara keseluruhan. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja karyawan meliputi strategi organisasi, (nilai tujuan jangka pendek dan jangka panjang, budaya organisasi dan kondisi ekonomi) dan atribut individual antara lain kemampuan dan ketrampilan. Kinerja bias meningkatkan kepuasan para karyawan dalam organisasi dengan kinerja tinggi daripada organisasi dengan kinerja rendah (Ostroff, 1992).

2.2    Kepemimpinan
Masalah kepemimpinan telah muncul bersamaan dengan dimulainya sejarah manusia, yaitu sejak manusia menyadari pentingnya hidup berkelompok untuk mencapai tujuan bersama. Mereka membutuhkan seseorang atau beberapa orang yang mempunyai kelebihan-kelebihan daripada yang lain, terlepas dalam bentuk apa kelompok manusia tersebut dibentuk. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena manusia selalu mempunyai keterbatasan dan kelebihan-kelebihan tertentu. Survei yang dilakukan majalah SWA (Majalah SWA, Januari 2001) dalam mencari Chief Executive Officer (CEO) terbaik tahun 2000 di Indonesia, tampak bahwa karakteristik kepemimpinan yang terbukti menjamin eksistensi organisasi antara lain adalah perhatian terhadap bawahan. Karakteristik ini menempati peringkat kedua terpenting setelah visisang pemimpin. Ini berarti bahwa pengelolaan manusia dalam organisasi merupakan kunci untuk memperbaikikinerja organisasi dan kesiapan menghadapi perubahan di abad 21 (Alimuddin, 2002).
Siagian (1999) merumuskan kepemimpinan sebagai suatu kegiatan untuk mempengaruhi perilaku orang-orang agar bekerja bersama-sama menuju suatu tujuan tertentu yang mereka inginkan bersama. Dengan kata lain, kepemimpinan adalah kemampuan mempengaruhi kelompok untuk mencapai tujuan kelompok tersebut. Dari berbagai pendapat yang dirumuskan para ahli diatas dapat diketahui
bahwa konsepsi kepemimpinan itu sendiri hampir sebanyak dengan jumlah orang
yang ingin mendefinisikannya, sehingga hal itu lebih merupakan konsep berdasarkan pengalaman. Hampir sebagian besar pendefinisian kepemimpinan memiliki titik kesamaan kata kunci yakni “suatu proses mempengaruhi”. Akan tetapi kita menemukan bahwa konseptualisasi kepemimpinan dalam banyak hal berbeda. Perbedaan dalam hal “siapa yang mempergunakan pengaruh, tujuan dari
upaya mempengaruhi, cara-cara menggunakan pengaruh tersebut”. Menurut W.A. Gerungan (Uchjana, 1981) bahwa setiap pemimpin sekurang-kurangnya memiliki tiga syarat, yakni :
1.      Memiliki Persepsi Sosial (Social Perception)
Persepsi sosial ialah kecakapan untuk cepat melihat dan memahami perasaan, sikap, dan kebutuhan anggota kelompok.
2.      Kemampuan Berpikir Abstrak (Ability in Abstract Thinking)
Kemampuan berabstraksi dibutuhkan oleh seorang pemimpin untuk dapat menafsirkan kecenderungan-kecenderungan kegiatan, baik di dalam maupun di luar kelompok, dalam kaitannya dengan tujuan kelompok. Kemampuan tersebut memerlukan taraf intelegensia yang tinggi pada seorang pemimpin.
3.      Keseimbangan Emosional (Emotional Stability)
Pada diri seorang pemimpin harus terdapat kematangan emosional yang berdasarkan kesadaran yang mendalam akan kebutuhan, keinginan, cita-cita dan suasana hati, serta pengintegrasian kesemua hal tersebut ke dalam suatu kepribadian yang harmonis sehingga seorang pemimpin dapat turut merasakan keinginan dan cita-cita anggota kelompoknya. Kepemimpinan tergantung kepada banyak faktor dan tiap-tiap pimpinan senantiasa dapat memperbaiki dan mempertinggi kemampuannya dalam bidang kepemimpinannya dengan jalan mengimitasi cara-cara yang ditempuh oleh pemimpin yang berhasil dalam tugas-tugas mereka atau mempelajari dan menerapkan prinsip-prinsip yang mendasari kepemimpinan yang baik. Definisi kepemimpinan seperti yang diungkapkan sebelumnya, berimplikasi pada tiga hal utama seperti dikemukakan oleh Locke (1997), yaitu:
Pertama, kepemimpinan menyangkut ‘orang lain’, bawahan atau pengikut,
kesediaan mereka untuk menerima pengarahan dari pemimpin. Jika tidak ada pengikut, maka tidak akan ada pula pemimpin. Tanpa bawahan semua kualitas kepemimpinan seorang atasan akan menjadi tidak relevan. Terkandung makna bahwa para pemimpin yang efektif harus mengetahui bagaimana membangkitkan inspirasi dan menjalin relasi dengan pengikut mereka.
Kedua, kepemimpinan merupakan suatu ‘proses’. Agar bisa memimpin, pemimpin mesti melakukan sesuatu, kepemimpinan lebih dari sekedar menduduki
suatu posisi otoritas. Kendatipun posisi otoritas yang diformalkan mungkin sangat
mendorong proses kepemimpinan, tetapi sekadar menduduki posisi itu tidak memadai untuk membuat seseorang menjadi pemimpin. Ketiga, kepemimpinan harus ‘membujuk’ orang-orang lain untuk mengambil tindakan. Pemimpin membujuk para pengikutnya lewat berbagai cara seperti menggunakan otoritas yang terlegitimasi, menciptakan model (menjadi teladan), penetapan sasaran, memberi imbalan dan hukuman, restrukturisasi organisasi, dan mengkomunikasikan sebuah visi. Rumusan kepemimpinan dari sejumlah ahli tersebut menunjukkan bahwa dalam suatu organisasi terdapat orang yang mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi, mengarahkan, membimbing dan juga sebagian orang yang mempunyai kegiatan untuk mempengaruhi perilaku orang lain agar mengikuti apa yang menjadi kehendak dari pada atasan atau pimpinan mereka. Karena itu, kepemimpinan dapat dipahami sebagai kemampuan mempengaruhi bawahan agar terbentuk kerjasama di dalam kelompok untuk mencapai tujuan organisasi. Apabila orang-orang yang menjadi pengikut atau bawahan dapat dipengaruhi oleh kekuatan kepemimpinan yang dimiliki oleh atasan maka mereka akan mau mengikuti kehendak pimpinannya dengan sadar, rela, dan sepenuh hati. Seringkali pengertian kepemimpinan dan manajemen disamakan oleh
banyak orang, namun ada pula yang membedakan pengertian keduanya. John Kotter (Robbins, 2006) berpendapat bahwa kepemimpinan berbeda dari manajemen. Manajemen berkaitan dengan hal-hal untuk mengatasi kerumitan. Manajemen yang baik dapat menghasilkan tata tertib dan konsistensi dengan menyusun rencana-rencana formal, merancang struktur organisasi yang ketat dan memantau hasil lewat pembandingan terhadap rencana yang telah ditetapkan sebelumnya. Kepemimpinan, sebaliknya, berkaitan dengan hal-hal untuk mengatasi perubahan.
Pemimpin menetapkan arah dengan mengembangkan suatu visi terhadap masa depan, kemudian mengkomunikasikannya kepada setiap orang dan mengilhami orang-orang tersebut dalam menghadapi segala rintangan. Kotter menganggap, baik kepemimpinan yang kuat maupun manajemen yang kuat merupakan faktor penting bagi optimalisasi efektifitas organisasi. Tingkah laku pemimpin yang istimewa, pertama adalah kemampuan memberi inspirasi bersama atau pemimpin sebagai inspirational motivation, yaitu memberikan gambaran ke masa depan dan membantu orang lain. Kedua, adalah kemampuan membuat model pemecahan (idealized influence), yaitu memberi keteladanan dan merencanakan keberhasilan-keberhasilan kecil. Semuanya untuk memahami tentang transformational leadership, yaitu bahwa seorang pemimpin dapat mentransformasikan bawahannya melalui empat cara: idealized influence, inspirational motivation, intelectual stimulation dan individualized consideration (Bass, 1997). Henry Mintzberg (Luthans, 1995 dalam Alimuddin, 2002), berdasarkan studi observasi yang ia lakukan secara langsung, membagi tiga jenis fungsi pemimpin atau manajer :
1.      Fungsi Interpersonal (The Interpersonal Roles)
Fungsi ini dapat ditingkatkan melalui jabatan formal yang dimiliki oleh seorang pemimpin dan antara pemimpin dengan orang lain. Fungsi interpersonal terbagi menjadi 3, yaitu :

a.       Sebagai Simbol Organisasi (Figurehead).
Kegiatan yang dilakukan dalam menjalankan fungsi sebagai simbol organisasi umumnya bersifat resmi, seperti menjamu makan siang pelanggan.
b.      Sebagai Pemimpin (Leader).
Seorang pemimpin menjalankan fungsinya dengan menggunakan pengaruhnya untuk memotivasi dan mendorong karyawannya untuk mencapai tujuan organisasi.
c.       Sebagai Penghubung (Liaison).
Seorang pemimpin juga berfungsi sebagai penghubung dengan orang diluar lingkungannya, disamping ia juga harus dapat berfungsi sebagai penghubung antara manajer dalam berbagai level dengan bawahannya.
d.      Fungsi Informasional (The Informational Roles)
Seringkali pemimpin harus menghabiskan banyak waktu dalam urusan
menerima dan menyebarkan informasi. Ada tiga fungsi pemimpin disini.
e.       Sebagai Pengawas (Monitor).
Untuk mendapatkan informasi yang valid, pemimpin harus melakukan pengamatan dan pemeriksaan secara kontinyu terhadap lingkungannya, yakni terhadap bawahan, atasan, dan selalu menjalin hubungan dengan pihak luar.
f.       Sebagai Penyebar (Disseminator).
Pemimpin juga harus mampu menyebarkan informasi kepada pihak-pihak yang memerlukannya.
g.      Sebagai Juru Bicara (Spokesperson).
Sebagai juru bicara, pemimpin berfungsi untuk menyediakan informasi bagi pihak luar.
2.      Fungsi Pembuat Keputusan (The Decisional Roles)
Ada empat fungsi pemimpin yang berkaitan dengan keputusan.


a.       Sebagai Pengusaha (Entrepreneurial).
Pemimpin harus mampu memprakarsai pengembangan proyek dan menyusun sumber daya yang diperlukan. Oleh karena itu pemimpin harus memiliki sikap proaktif.
b.      Sebagai Penghalau Gangguan (Disturbance Handler).
Pemimpin sebagai penghalau gangguan harus bersikap reaktif terhadap masalah dan tekanan situasi.
c.       Sebagai Pembagi Sumber Dana (Resource Allocator).
Disini pemimpin harus dapat memutuskan kemana saja sumber dana akan didistribusikan ke bagian-bagian dari organisasinya. Sumber dana ini mencakup uang, waktu, perbekalan, tenaga kerja dan reputasi.
d.      Sebagai Pelaku Negosiasi (Negotiator).
Seorang pemimpin harus mampu melakukan negosiasi pada setiap tingkatan, baik dengan bawahan, atasan maupun pihak luar. Organisasi yang berhasil dalam mencapai tujuannya serta mampu memenuhi tanggung jawab sosialnya akan sangat tergantung pada para manajernya (pimpinannya). Apabila manajer mampu melaksanakan fungsi-fungsinya dengan baik, sangat mungkin organisasi tersebut akan dapat mencapai sasarannya. Suatu organisasi membutuhkan pemimpin yang efektif, yang mempunyai kemampuan mempengaruhi perilaku anggotanya atau anak buahnya. Jadi, seorang pemimpin atau kepala suatu organisasi akan diakui sebagai seorang pemimpin apabila ia dapat mempunyai pengaruh dan mampu mengarahkan bawahannya ke arah pencapaian tujuan organisasi.

2.3    Gaya Kepemimpinan
Ada suatu pendekatan yang dapat digunakan untuk memahami kesuksesan dari kepemimpinan, yakni dengan memusatkan perhatian pada apa yang dilakukan
oleh pemimpin tersebut. Jadi yang dimaksudkan disini adalah gayanya. Gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang digunakan oleh seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain seperti yang ia inginkan. Gaya kepemimpinan dalam organisasi sangat diperlukan untuk mengembangkan lingkungan kerja yang kondusif dan membangun iklim motivasi
bagi karyawan sehingga diharapkan akan menghasilkan produktivitas yang tinggi.
Gaya kepemimpinan adalah suatu cara yang digunakan oleh seorang pemimpin dalam mempengaruhi perilaku orang lain. Dari gaya ini dapat diambil manfaatnya untuk dipergunakan sebagai pemimpin dalam memimpin bawahan atau para pengikutnya. Gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang dipergunakan oleh seseorang pemimpin pada saat mencoba mempengaruhi perilaku orang lain atau bawahan. Pemimpin tidak dapat menggunakan gaya kepemimpinan yang sama dalam memimpin bawahannya, namun harus disesuaikan dengan karakter-karakter tingkat kemampuan dalam tugas setiap bawahannya. Pemimpin yang efektif dalam menerapkan gaya tertentu dalam kepemimpinannya terlebih dahulu harus memahami siapa bawahan yang dipimpinnya, mengerti kekuatan dan kelemahan bawahannya, dan mengerti bagaimana caranya memanfaatkan kekuatan bawahan untuk mengimbangi kelemahan yang mereka miliki. Istilah gaya adalah cara yang dipergunakan pimpinan dalam mempengaruhi para pengikutnya (Thoha, 2001).
Dalam teori jalur tujuan (Path Goal Theory) yang dikembangkan oleh Robert House (1971, dalam Kreitner dan Kinicki, 2005) menyatakan bahwa pemimpin mendorong kinerja yang lebih tinggi dengan cara memberikan kegiatan-kegiatan yang mempengaruhi bawahannya agar percaya bahwa hasil yang berharga bisa dicapai dengan usaha yang serius. Kepemimpinan yang berlaku secara universal menghasilkan tingkat kinerja dan kepuasan bawahan yang tinggi. Dalam situasi yang berbeda mensyaratkan gaya kepemimpinan yaitu karakteristik personal dan kekuatan lingkungan. Teori ini juga menggambarkan bagaimana persepsi harapan dipengaruhi oleh hubungan kontijensi diantara empat gaya kepemimpinan dan berbagai sikap dan perilaku karyawan. Perilaku pemimpin memberikan motivasi sampai tingkat (1) mengurangi halangan jalan yang mengganggu pencapaian tujuan, (2) memberikan panduan dan dukungan yang dibutuhkan oleh para karyawan, dan (3) mengaitkan penghargaan yang berarti terhadap pencapaian tujuan. Selain itu House percaya bahwa pemimpin dapat menunjukkan lebih dari satu gaya kepemimpinan, dan mengidentifikasikan lima gaya kepemimpinan, yaitu:
  1. Gaya Direktif
Dimana pemimpin memberitahukan kepada bawahan apa yang diharapkan dari mereka, memberitahukan jadwal kerja yang harus diselesaikan dan standar kerja, serta memberikan bimbingan secara spesifik tentang cara-cara menyelesaikan tugas tersebut, termasuk di dalamnya aspek perencanaan, organisasi, koordinasi dan pengawasan. Karakteristik pribadi bawahan mempengaruhi gaya kepemimpinan yang efektif. Jika bawahan merasa mempunyai kemampuan yang tidak baik, kepemimpinan instrumental (direktif) akan lebih sesuai. Sebaliknya apabila bawahan merasa mempunyai kemampuan yang baik, gaya direktif akan dirasakan berlebihan, bawahan akan cenderung memusuhi (Mamduh, 1997). House dan Mitchell (1974) dalam Yukl (1989) menyatakan bahwa direktif leadership itu memberitahukan kepada para bawahan apa yang diharapkan dari mereka, memberi pedoman yang spesifik, meminta para bawahan untuk mengikuti peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur, mengatur waktu dan mengkoordinaasi pekerjaan mereka. Sedangkan menurut Griffin (1980) dalam Yukl (1989), pegawai yang mengerjakan tugas-tugas sulit tetapi karena kurang motivasi mereka tidak mau menerima situasi yang ambigu ini dengan mengatur aktivitas-aktivitas mereka sendiri. Fungsi pimpinan dalam situasi ini adalah memberikan struktur tugas dengan merencanakan, mengorganisir, mengkoordinasi, mengarahkan, dan mengontrol kerja anak buahnya. Sikap direktif yang demikian diperkirakan akan membuahkan hasil-hasil yang positif.
  1. Gaya Suportif
Gaya kepemimpinan yang menunjukkan keramahan seorang pemimpin, mudah ditemui daan menunjukkan sikap memperhatikan bawahannya (House dan Mitchell 1974 dalam Yukl 1989). Mamduh (1997) mengatakan jika manajer ingin meningkatkan kesatuan dan kekompakan kelompok digunakan gaya kepemimpinan supportif. Jika bawahan tidak memperoleh kepuasan sosial dari kelompok gaya kepemimpinan supportif menjadi begitu penting. Sedangkan Yukl (1989) mengatakan apabila tugas tersebut terlalu menekan (stresfull), membosankan atau berbahaya, maka supportif akan menyebabkan meningkatnya usaha dan kepuasan bawahan dengan cara meningkatkan rasa percaya diri, mengurangi ketegangan dan meminimalisasi aspek-aspek yang tidak menyenangkan. Kepemimpinan gaya supportif, menggambarkan situasi dimana pegawai yang memiliki kebutuhan tinggi untuk berkembang mengerjakan tugas-tugas yang mudah, sederhana, dan rutin. Individu seperti ini mengharapkan pekerjaan sebagai sumber pemuasan kebutuhan, tetapi kebutuhan mereka tidak terpenuhi. Reaksi yang mungkin timbul adalah perasaan kecewa dan frustasi. Bukti-bukti penelitian oleh House&Mitchell (1974) dalam Yukl (1989) dengan kuat menunjukkan bahwa pegawai yang mengerjakan tugas-tugas yang kurang memuaskan seperti ini cenderung memberikan respon positif terhadap sikap pimpinan yang supportif (Griffin, 1980) dalam Yukl (1989).
  1. Gaya Partisipatif
Gaya kepemimpinan dimana mengharapkan saran-saran dan ide mereka sebelum mengambil suatu keputusan (House dan Mitchell 1974 dalam Yukl 1989). Apabila bawahan merasa mempunyai kemampuan yang baik, gaya kepemimpinan direktif akan dirasa berlebihan, bawahan akan cenderung memusuhi, sehingga gaya kepemimpinan partisipatif lebih sesuai. Jika bawahan mempunyai locus of control
yang tinggi, ia merasa jalan hidupnya lebih banyak dikendalikan oleh dirinya bukan oleh faktor luar seperti takdir, gaya kepemimpinan yang partisipatif lebih sesuai (Mamduh, 1997). Vroom dan Arthur Jago (1988 dalam Yukl, 1989) mengatakan bahwa partisipasi bawahan juga mempengaruhi dalam pengambilan keputusan oleh pemimpin. Situasi dimana kebutuhan untuk berkembang rendah dan pegawai mengerjakan tugas-tugas yang mudah, sikap yang dianggap tepat untuk pegawai yang secara ego terlibat dengan pekerjaan dan mengalami kepuasan intrinsik dari tugas yang dikerjakan adalah sikap partisipatif dan berorientasi prestasi (Griffin, 1980 dalam Yukl, 1989).
  1. Gaya Orientasi Prestasi
Gaya kepemimpinan dimana pemimpin menetapkan tujuan yang menantang dan mengharapkan bawahan untuk berprestasi semaksimal mungkin serta terus menerus mencari pengembangan prestasi dalam pencapaian tujuan tersebut. Yukl (1989) menyatakan bahwa tingkah laku individu didorong oleh needfor achievementatau kebutuhan untuk berprestasi. Kepemimpinan yang berorientasi kepada prestasi (achievement) dihipotesakan akan meningkatkan usaha dan kepuasan bila pekerjaan tersebuttidak tersetruktur (misalnya kompleks dan tidak diulang-ulang) dengan meningkatkan rasa percaya diri dan harapan akan menyelesaikan sebuah tugas dan tujuan yang menantang. Kepuasan kerja lebih tinggi diperoleh apabila telah melaksanakan prestasi kerja yang baik. Pegawai yang memiliki kebutuhan untuk berkembang dan mengerjakan tugas-tugas sulit berdasarkan pembahasan konseptual House&Mitchell (1974 dalam Yukl, 1989) sikap pemimpin yang paling tepat untuk pegawai ini adalah gaya partisipatif dan berorientasi prestasi.
  1. Gaya Pengasuh
Dalam kepemimpinan gaya pengasuh, sikap yang mungkin tepat adalah campur tangan minim dari pimpinan. Dimana pemimpin hanya memantau kinerja tetapi tidak mengawasi pegawai secara aktif. Tidak dibutuhkan banyak interaksi antara pimpinan dengan pegawai sepanjang kinerja pegawai tidak menurun. Pimpinan merasa lebih tepat untuk tidak campur tangan dengan tugas-tugas pegawai (Griffin, 1980 dalam Yukl, 1989).

2.4       Kepuasan Kerja       
Kepuasan kerja merupakan sikap positif terhadap pekerjaan pada diri seseorang. Pada dasarnyakepuasan kerja merupakan hal yang bersifat individual. Setiap individu akan memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan sistem nilai yang berlaku pada dirinya. Biasanya orang akan merasa puas atas kerja yang telah atau sedang dijalankan, apabila apa yang dikerjakan dianggap telah memenuhi harapan, sesuai dengan tujuannya bekerja. Apabila seseorang mendambakan sesuatu, berarti yang bersangkutan memiliki suatu harapan dan dengan demikian akan termotivasi untuk melakukan tindakan kearah pencapaian harapan tersebut. Jika harapan tersebut terpenuhi, maka akan dirasakan kepuasan.Kepuasan kerja menunjukkan kesesuaian antara harapan seseorang yang timbul dan imbalan yang disediakan pekerjaan, sehingga kepuasan kerja juga berkaitan erat dengan teori keadilan, perjanjian psikologis dan motivasi. Lebih lanjut Robbins (2006) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai suatu sikap umum seorang individu terhadap pekerjaannya dimana dalam pekerjaan tersebut seseorang dituntut untuk berinteraksi dengan rekan sekerja dan atasan, mengikuti aturan dan kebijaksanaan organisasi, memenuhi standar kinerja. Robbins (2006) menyatakan bahwa orang dalam melaksanakan pekerjaannya dipengaruhi oleh dua faktor yang merupakan kebutuhan, yaitu :
1.      Maintenance Faktors
Maintenance faktors adalah faktor-faktor pemeliharaan yang berhubungan dengan hakikat manusia yang ingin memperoleh ketentraman badaniah. Kebutuhan kesehatan ini menurut Herzberg merupakan kebutuhan yang berlangsung terus menerus, karena kebutuhan ini akan kembali pada titik nol setelah dipenuhi. Faktor-faktor pemeliharaan ini meliputi faktor-faktor :
a.       Gaji atau upah (Wages or Salaries)
b.      Kondisi kerja (Working Condition)
c.       Kebijaksanaan dan Administrasi perusahaan (Company Policy and Administration)
d.      Hubungan antar pribadi (Interpersonal Relation)
e.       Kualitas supervisi (Quality Supervisor)
Hilangnya faktor-faktor pemeliharaan ini dapat menyebabkan timbulnya ketidakpuasan dan absennya karyawan, bahkan dapat menyebabkan banyak karyawan yang keluar. Faktor-faktor pemeliharaan ini perlu mendapat perhatian yang wajar dari pimpinan, agar kepuasan dan gairah bekerja bawahan dapat ditingkatkan. Maintenance factor sini bukanlah merupakan motivasi bagi karyawan, tetapi merupakan keharusan yang harus diberikan oleh pimpinan kepada mereka, demi kesehatan dan kepuasan bawahan.
2.      Motivation Factors
Motivation factors Adalah faktor motivator yang menyangkut kebutuhan psikologis seseorang yaitu perasaan sempurna dalam melakukan pekerjaan. Faktor motivasi ini berhubungan dengan penghargaan terhadap pribadi yang secara langsung berkaitan dengan pekerjaan. Faktor motivasi ini meliputi :
a.       Prestasi (Achievement)
b.      Pengakuan (Recognition)
c.       Pekerjaan itu sendiri (The work it self)
d.      Tanggung jawab (Responsibility)
e.       Pengembangan Potensi individu (Advancement)
f.       Kemungkinan berkembang (The possibility of growth)
Teori ini timbul paham bahwa dalam perencanaan pekerjaan harus diusahakan sedemikian rupa, agar kedua faktor ini (faktor pemeliharaan dan faktor motivasi) dapat dipenuhi. Banyak kenyataan yang dapat dilihat misalnya dalam suatu perusahaan, kebutuhan kesehatan mendapat perhatian yang lebih banyak daripada pemenuhan kebutuhan individu secara keseluruhan. Hal ini dapat dipahami, karena kebutuhan ini mempunyai pengaruh yang dominan terhadap kelangsungan hidup individu. Kebutuhan peningkatan prestasi dan pengakuan ada kalanya dapat dipenuhi dengan memberikan bawahan suatu tugas yang menarik untuk dikerjakan. Ini adalah suatu tantangan bagaimana suatu pekerjaan direncanakan sedemikian rupa, sehingga dapat menstimulasi dan menantang si pekerja serta menyediakan kesempatan baginya untuk maju. Ada tiga hal penting yang harus diperhatikan dalam memotivasi bawahan yaitu :
1.      Hal-hal yang mendorong karyawan adalah “pekerjaan yang menantang yang mencakup perasaan untuk berprestasi, bertanggung jawab, kemajuan dapat menikmati pekerjaan itu sendiri dan adanya pengakuan atas semuanya itu.
2.      Hal-hal yang mengecewakan karyawan adalah terutama faktor yang bersifat semu / pura-pura saja pada pekerjaan, peraturan pekerjaan, penerangan, istirahat, sebutan jabatan, hak, gaji, tunjangan dan lain-lainnya.
3.      Karyawan kecewa, jika peluang untuk berprestasi terbatas. Mereka akan menjadi sensitif pada lingkungannya serta mulai mencari-cari kesalahan.

    Alimuddin, 2002, Pengaruh Gaya Kepemimpinan terhadap Kinerja Pegawai Badan Pengawasan Daerah                     Kota Makassar, Tesis, Program Pasca Sarjana Magister Manajemen Universitas Gajah Mada (tidak             dipublikasikan)
     Su’ud, Muh, 2000, “Persepsi Sosial Tentang Kredibilitas Pemimpin”, Sinergi Kajian Bisnis dan Manajemen,               Vol.3, No.1. Hal 51-65
      Tadjudin, 1997/1995, “Menciptakan SDM Bermutu”, Usahawan, No.1, tahun XXVI, Januari.
      Thoha, M., 2001, Kepemimpinan dalam Manajemen, Suatu Pendekatan Perilaku, Rajawali Press , Jakarta.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar