Rabu, 15 Oktober 2014

DINAMIKA AKTUALISASI PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA DINAMIKA PELAKSANAAN UUD 1945 ANALISIS SIDANG DPR “PILKADA LANGSUNG”








PEMBAHASAN


1.1     DINAMIKA AKTUALISASI PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA
Pancasila sebagai ideologi nasional yang mempunyai posisi sebagai visi kebangsaan Indonesia, yang dipandang sebagai sumber demokrasi yang baik dimasa depan dan yang lahir dari sebuah sejarah. Pancasila perlu diaktualisasikan dalam kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan. Pancasila selama ini yang dipandang publik sebagai kepentingan (alat) penguasa, yang ditantang oleh arus globalisasi ideologi asing, terutama Liberalisme yang gagal dalam mengatasi penyakit korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) sebagai akibat adanya salah-urus mengelola negara, serta yang perwujudan praktek demokrasinya berkonotasi buruk. Ini semua seringkali diarahkan pada Pancasila yang dijadikan ‘kambinghitam‘-nya. Secara yuridis ketatanegaraan, Pancasila adalah dasar negara NKRI yang dirumuskan dalam (Pembukaan) UUD 1945 dan yang kelahirannya berasal dari proses perjuangan kebangsaan Indonesia sehingga perlu dipertahankan dan diaktualisasikan walaupun konstitusinya berubah. Di samping itu, Pancasila dianggap perlu melandasi proses reformasi untuk diarahkan pada ‘reinventing and rebuilding‘ Indonesia dengan berpegangan pada perundang-undangan yang juga berlandaskan Pancasila sebagai dasar negara.
Melalui UUD 1945 Pancasila perlu diaktualisasikan agar dalam praktek berdemokrasi memiliki sebuah acuan atau pedoman dan dapat meredam konflik yang tidak produktif. Dimensi pertahanan dan keamanan memandang bahwa Pancasila erat kaitannya dengan sejarah lahirnya Tentara Nasional Indonesia (TNI), sehingga pelaksanaan Pancasila merupakan landasan idiil dan konstitusional bagi ketahanan nasional serta merupakan penyaring untuk tantangan liberalisme-kapitalisme yang tumbuh di Indonesia. Sempitnya pemahaman Pancasila menyebabkan terjadinya degradasi nilai-nilai kekeluargaan dan tenggang-rasa dalam masyarakat, serta disalahgunakan implementasinya oleh penguasa sehingga legitimasinya sudah pada titik nadir (antiklimaks). Dimensi sosial ekonomi memandang Pancasila sebagai falsafah negara yang dapat mewujudkan sistem ekonomi Pancasila serta sebagai sumber sistem ekonomi kerakyatan. Pengaruh globalisasi terhadap penguatan campur tangan asing (badan-badan internasional) terhadap perekonomian nasional.
Begitu pula dimensi kesejahteraan rakyat yang memandang perlunya Pancasila diaktualisasikan oleh dan bagi bangsa Indonesia karena kemampuan ideologi Pancasila yang bersimetris dengan tingkat kesejahteraan rakyat dan kedaulatan rakyat serta yang perlu dianalisis substansi ideologinya pada segi ontologi dan epistemologinya. Dimensi lingkungan hidup memandang perlunya diaktualisasikan Pancasila sebagai jiwa rakyat Indonesia. Untuk itu maka diperlukan pedomannya untuk menghayati sila-sila yang terkandung pada pancasila. Dimensi pendidikan memandang Pancasila perlu diaktualisasikan dengan alasan bahwa ia perlu difahami dan dihayati kembali oleh seluruh komponen bangsa. Sehubungan dengan ini, anak sebagai harapan bangsa dan generasi penerus sudah seharusnya menyerap nilai-nilai Pancasila sejak dini dengan cara diasah, diasih, dan diasuh.
Dimensi budaya memandang perlunya Pancasila diaktualisasikan karena perlunya visi NKRI 2020 untuk menjadi negara Industri Maju Baru. Dengan demikian rumusan Pancasila pada Pembukaan UUD 1945 tak perlu dipermasalahkan lagi tetapi justru diperlukan pengembangan budaya Pancasila yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan (kreatif, berbudi, berdaya, perdamaian, dll). Hal ini dianggap penting mengingat sejak reformasi, persatuan dan kesatuan menjadi tidak kokoh serta kondisi bangsa yang masih menghadapi tingkat kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan.
Terakhir, dimensi keagamaan memandang perlunya Pancasila diaktualisasikan oleh dan bagi bangsa Indonesia mengingat keragaman agama perlu disikapi sebagai permata-indah untuk dipilih. Hal ini sebagai pewujudan terhadap hasil penelusuran sejarah perumusannya. Dalam kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara yang sedang dilanda oleh arus krisis dan disintegrasi maka Pancasila tidak terhindar dari berbagai macam gugatan, sinisme, serta pelecehan terhadap kredibilitasnya. Namun perlu kita sadari bahwa tanpa adanya “platform” dalam dasar negara atau ideologi maka suatu bangsa mustahil akan dapat bertahan dalam menghadapi berbagai tantangan dan berbagai ancaman.
     
1.2     DINAMIKA PELAKSANAAN UUD 1945 PADA MASA AWAL KEMERDEKAAN
Awal masa Indonesia setelah memproklamasikan kemerdekaan, mengalami berbagai macam gangguan terutama dalam upaya untuk mempertahankan kemerdekaannya. Pada masa ini, kolonialisme Belanda berupaya untuk mengembalikan kekuasaannya di Indonesia dengan membonceng tentara sekutu. Selain itu juga telah terjadi berbagai macam pemberontakan yang bersumber pada pertentangan ideologi yang ingin merubah negara kesatuan Republik Indonesia dengan ideologi lainnya. Antara lain pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948. PRRI Permesta, DI/TII dan lain sebagainya.
Sistem pemerintahan berdasarkan UUD 1945 belum dapat dilaksanakan. Pada tahun ini di bentuklah DPA sementara, sedangkan DPR dan MPR belum dapat dibentuk karena harus melalui pemilu. Waktu itu masih di berlakukan pasal aturan peralihan pasal IV yang menyatakan, “Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat,Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah komite nasional.”
Pada saat itu terjadilah suatu perkembangan ketatanegaraan Indonesia yaitu: (1) berubahnya fungsi komite nasional Indonesia pusat dari pembantu presiden menjadi badan yang diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara. Hal ini berdasarkan maklumat wakil presiden No. X (iks) tanggal 16 Oktober 1945. Selain itu dikeluarkan juga maklumat pemerintah tanggal 14 Nopember 1945. Yang isinya perubahan sistem pemerintahan negara dari sistem Kabinet Presidensial menjadi sistem Kabinet Parlementer, berdasarkan usul Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP).
Akibat perubahan tersebut pemerintah menjadi tidak stabil, Perdana Menteri hanya bertahan beberapa bulan serta berulang kali terjadi pergantian.
Tanggal 3 November 1945 di keluarkan juga suatu maklumat yang ditandatangani oleh Wakil Presiden yang isinya tentang pembentukan partai politik. Hal ini bertujuan agar berbagai aliran yang ada didalam masyarakat dapat di arahkan kepada perjuangan untuk memperkuat mempertahankan dengan persatuan dan kesatuan.
Sejak tanggal 14 Nopember 1945 kekuasaan pemerintah (eksekutif) dipegang oleh Perdana Menteri sebagi pimpinan kabinet. Secara bersama-sama atau sendiri-sendiri, perdana menteri atu para menteri itu bertanggung jawap kepada KNPI, yang berfungsi sebagai DPR, dan tidak bertanggung jawab kepada presiden sebagaimana yang dikehendaki oleh UUD 1945. Hal ini berakibat semakin tidak setabilnya Negara Republik Indonesia baik di bidang politik, ekonomi, pemerintahan maupun keamanan. Semangat ideologi liberal itu kemudian memuncak dengan dibentuknya Negara Federal yaitu negara kesatuan Republik Indonesia Serikat dengan berdasar pada konstitusi RIS, pada tanggal 27 Desember 1949. Konstitusi RIS tersebut sebagai hasil kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag negeri Belanda.Syukurlah konstitusi itu tidak berlangsung lama dan Indonesia kembali bersatu pada tahun 1950.Dalam negara RIS tersebut masih terdapat negara bagian Republik Indonesia yang beribukota di Yogyakarta. Kemudian terjadilah suatu persetujuan antara Negara RI Yogyakarta dengan negara RIS yang akhirnya membuahkan kesepakatan untuk kembali, untuk membentuk negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan pada Undang-Undang Dasar Sementara sejak 17 agustus 1950 isi UUDS ini berbeda dengan UUD 1945 terutama dalam sistem pemerintahan negara yaitu menganut sistem Parlementer, sedangkan UUD 1945 menganut sistem Presidensial.
Pada bulan September 1955 dan Desember 1955 diadakan pemilihan umum,yang masing-masing untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota konstituante. Tugas konstituante adalah untuk membentuk, menyusun Undang-Undang Dasar yang tetap sebagai pengganti UUDS 1950. Untuk mengambil putusan mengenai Undang-Undang dasar yang baru ditentukan pada pasal 137 UUDS 1950 sebagai berikut :
1.        Untuk mengambil putusan tentang rancangan Undang-Undang Dasar baru sekurang-kurangnya 2/3 jumlah anggota konstituante harus hadir.
2.        Rancangan tersebut diterima jika disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir.
3.        Rancangan yang telah diterima oleh konstituante dikirimkan kepada Presiden untuk disahkan oleh pemerintah.
4.        Pemerintah harus mengesahkan rancangan itu dengan segera serta mengumumkan  Undang-Undang Dasar itu dengan keluhuran.

1.2.1  DINAMIKA PELAKSANAAN UUD 1945 PADA MASA ORDE LAMA
Sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 juli 1959 itu maka UUD 1945 berlaku kembali di Negara Republik Indonesia. Sekalipun UUD 1945 secara yuridis formal sebagai hukum dasar tertulis yang berlaku di Indonesia namun realisasi ketatanegaraan Indonesia tidak melaksanakan makna dari UUD 1945 itu sendiri.Sejak itu mulai berkuasa kekuasaan Orde Lama yang secara ideologis banyak dipengaruhi oleh paham komunisme. Hal ini nampak adanya berbagai macam penyimpangan ideologis yang dituangkan dalam berbagai bidang kebijaksanaan dalam negara.
Dikukuhkannya ideologi Nasakom, dipaksakannya doktrin Negara dalam keadaan revolusi. Oleh karena revolusi adalah permanen maka Presiden sebagai Kepala Negara yang sekaligus juga sebagai Pemimpin Besar Revolusi, diangkat menjadi Pemimpin Besar Revolusi, sehingga Presiden masa jabatannya seumur hidup.Penyimpangan ideologis maupun konstitusional ini berakibat pada penyimpangan-penyimpangan konstitusional lainnya sebagai berikut,
1.      Demokrasi di Indonesia diarahkan menjadi demokrasi terpimpin, yang dipimpin           oleh presiden, sehingga praktis bersifat otoriter.pada sebenarnya di negara    Indonesia yang berdasarkan Pancasila berazas-kan kerakyatan,sehingga seharusnya         rakyatlah sebagai pemegang serta asal mula kekuasaan negara, demikian juga        sebagaimana yang tercantum dalam UUD 1945.
2.      Oleh karena Presiden sebagai pemimpin besar revolusi maka memiliki wewenang         yang melebihi sebagaimana yang sudah di tentukan oleh Undang-Undang Dasar   1945, yaitu mengeluarkan produk hukum yang setingkat denganUndang-Undang      tanpa melalui persetujuan DPR dalam bentuk penetapanpresiden.
3.      Dalam tahun 1960, karena DPR tidak  dapat menyetujui rancangan pendapatan dan    Belanja Negara yang di ajukan oleh pemerintah. Kemudian presiden waktuitu           membubarkan DPR hasil pemilu 1955 dan kemudian membentuk DPR gotong        royong. Hal ini jelas-jelas sebagai pelanggaran konstitusional yaitukekuasaan        eksekutif di atas kekuasaan legislatif.
4.      Pimpinan lembaga tertinggi dan tinggi negara dijadikan menteri negara, yangberarti     sebagai pembantu presiden.Selain penyimpangan-penyimpangan tersebut masih           banyak penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan ketatanegaraan yang       seharusnya berdasarkanpada UUD 1945. Karena pelaksanaan yang        inskonstitusional itulah maka berakibatpada ketidak stabilan dalam bidang politik,      ekonomi terutama dalam bidangkeamanan. Puncak dari kekuasaan Orde Lama           tersebut ditandai denganpemberontakan G30S.PKI. syukur alhamdulillah   pemberontakan tersebut dapatdigagalkan oleh rakyat Indonesia terutama oleh        generasi muda.Dengan dipelopori oleh pemuda, pelajar, dan mahasiswa rakyat         Indonesia menyampaikan Tritula (Tri Tuntutan Rakyat) yang meliputi,
       a.       Bubarkan PKI.
       b.      Bersihkan kabinet dari unsur-unsur KPI.
       c.       Turunkan harga/perbaikan ekonomi.
       Gelombang gerakan rakyat semakin besar, sehingga presiden tidak mampulagi mengembalikannya,maka keluarlah surat perintah 11 maret 1966 yangmemberikan kepada Letnan Jenderal Soeharto untuk mengambil langkah-langkahdalam mengembalikan keamanan negara. Sejak peristiwa inilah sejarahketatanegaraan Indonesiadikuasai oleh kekuasaan Orde Baru (Dardji Darmodihardjo 1979).
Orde Lama berlangsung dari tahun 1945 hingga 1968. Dalam jangka waktu tersebut, Indonesia menggunakan bergantian sistem ekonomi liberal dan sistem ekonomi komando. Di saat menggunakan sistem ekonomi liberal, Indonesia menggunakan sistem pemerintahan parlementer.Presiden Soekarno di gulingkan waktu Indonesia menggunakan sistem ekonomi komando.
Pemerintahan Soekarno pada era 1960-an, masa ekonomi surut di Indonesia.Saat itu harga-harga melambung tinggi, sehingga pada tahun 1966 mahasiswa turun ke jalan untuk mencegah rakyat yang turun.Mereka menuntut Tritura. Jika saat itu rakyat yang turun, mungkin akan terjadi people power seperti yang terjadi di Philipina.
Pemerintahan Rezim Militer (Orba) cukup baik pada era 1970-an dan 1980-an, namun akhirnya kandas di penghujung 1990-an karena ketimpangan dari pemerintah itu sendiri. Di pemerintahan Soekarno malah terjadi pergantian sistem pemerintahan berkali-kali.Liberal, terpimpin, dsb mewarnai politik Orde Lama. Rakyat muak akan keadaan tersebut. Pemberontakan PKI pun sebagian dikarenakan oleh kebijakan Orde Lama. PKI berhaluan sosialisme/komunisme (Bisa disebut Marxisme atau Leninisme) yang berdasarkan asas sama rata, jadi faktor pemberontakan tersebut adalah ketidakadilan dari pemerintah Orde Lama.

     Pada masa Orde lama, Pancasila dipahami berdasarkan paradigma yang berkembang pada situasi dunia yang diliputi oleh tajamnya konflik ideologi.Pada saat itu kondisi politik dan keamanan dalam negeri diliputi oleh kekacauan dan kondisi sosial-budaya berada dalam suasana transisional dari masyarakat terjajah (inlander) menjadi masyarakat merdeka.Masa orde lama adalah masa pencarian bentuk implementasi Pancasila terutama dalam sistem kenegaraan.Pancasila diimplementasikan dalam bentuk yang berbeda-beda pada masa orde lama. Terdapat 3 periode implementasi Pancasila yang berbeda, yaitu periode 1945-1950, periode 1950-1959, dan periode 1959-1966.
     Orde Lama telah dikenal prestasinya dalam memberi identitas, kebanggaan nasional dan mempersatukan bangsa Indonesia. Namun demikian, Orde Lama pula yang memberikan peluang bagi kemungkinan kaburnya identitas tersebut (Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945). Beberapa peristiwa pada Orde Lama yang mengaburkan identitas nasional kita adalah; Pemberontakan PKI pada tahun 1948, Demokrasi Terpimpin, Pelaksanaan UUD Sementara 1950, Nasakom dan Pemberontakan PKI 1965.

1.2.2    DINAMIKA PELAKSANAAN UUD 1945 PADA MASA ORDE BARU
Orde baru di bawah pimpinan Soeharto pada awalnya untuk mengembalikan keadaan setelah pemberontakan PKI bertekad untuk mempelopori pembangunan nasional Indonesia sehingga orde baru juga sering di istilahkan sebagai orde pembangunan. Pada saat itu bangsa Indonesia dalam keadaan yang tidak menentu baik yang menyangkut bidang politik, ekonomi maupun keamanan. Dalam keadaan yangdemikian inilah pada bulan Pebruari 1967 DPRGR mengeluarkan suatu resolusi yaitu meminta MPR(S) agar mengadakan sidang istimewa pada bulan maret 1967. Sidang istimewa tersebut mengambil suatu keputusan sebagai berikut :
1.        Presiden Soekarno tidak dapat memenuhi tanggungjawab konstitusional dan tidak menjalankan GBHN sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.
2.        Sidang menetapkan berlakunya Tap No. XV/MPRS/1966 tentang pemilihan/ penunjukan wakil presiden dan tata cara pengangkatan pejabat presiden dan mengangkat Jenderal Soeharto. Pengembangan Tap. No. 6  IX/MPRS/1966, sebagai pejabat presiden berdasarkan pasal 8 Undang-Undang Dasar 1945 hingga dipilihnya presiden oleh MPR hasil pemilihan umum. 
Dalam masa orde baru ini (1967-1997) pelaksanaan UUD 1945 belum juga murni dan konsekuen, praktis kekuasaan presiden tidak secara langsung kekuasaan lembaga tertinggi dan tinggi negara dibawah kekuasaan presidan tetapi seluruhnya hampir dituangkan dalam mekanisme peraturan antara lain :
1.      UU no.16/1969 dan UU no.5/1975 tentang kedudukan DPR, MPR, DPRD.
2.      UU no.3/1975 dan UU no.3/1985 tentang parpol dan golkar.
3.      UU no.15/969 dan UU no.4/1975 tentang pemilu.
Pada masa awal kekuasaan Orde Baru berupaya untuk memperbaiki nasib bangsa dalam berbagai bidang antara lain dalam bidang politik, ekonomi, soaial,budaya maupun keamanan. Di bidang politik dilaksanakanlah pemilu yang dituangkan dalam Undang-Undang No.15 tahun 1969 tentang pemilu umum, Undang-Undang No.16 tentang susunan dan kedudukan majelis permusyawaratan rakyat, dewan perwakilan rakyat dan dewan perwakilan rakyat daerah. Atas dasar ketentuan undang-undang tersebut kemudian pemerintah Orde Baru berhasil mengadakan pemilu pertama.
Pada awalnya bangsa Indonesia memang merasakan perubahan peningkatan nasib bangsa dalam berbagai bidang melalui suatu program negara yang dituangkan dalam GBHN yang disebut pelita (pembangunan lima tahun). Hal ini wajar dirasakan oleh bangsa Indonesia karena sejak tahun 1945 setelah kemerdekaan nasib bangsa Indonesia senantiasa dalam kesulitan dan kemiskinan.Namun demikian lambat laun program-program negara buakannya diperuntukan kepada rakyat melainkan demi kekuasaan. Mulailah ambisi kekuasaan orde baru menjalar keseluruh sandi-sandi kehidupan ketatanegaraan Indonesia. Kekuasaan orde baru menjadi otoriter namun seakan-akan dilaksanakan secara demokratis.
Penafsiran dan penuangan pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 tidak dilaksanakan sesuai dengan amanat sebagaimana tertuang dan terkandung dalam Undang-Undang Dasar  tersebut melainkan dimanipulasikan demi kekuasaan. Bahkan pancasila pun diperalat demi legitimasi kekuasaan dan tindakan presiden.Hal ini terbukti dengan adanya ketetapan MPR No.II/MPR/1978. Tentang P-4 yang dalam kenyataannya sebagai media untuk propaganda kekuasaan orde baru.Realisasi UUD 1945 lebih banyak memberikan porsi atas kekuasaan presiden.Walupun sebenarnya UUD 1945 tidak mengamanatkan demikian.

 1.2.3    DINAMIKA PELAKSANAAN PADA MASA REFORMASI
            Kekuasaan Orde Baru di bawah Soeharto sampai tahun 1998 membawa ketatanegaraan Indonesia tidak mengamanatkan nilai-nilai demokrasi sebagaimana yang tergantung dalam Pancasila yang mendasarkan pada kerakyatan dimana rakyat memiliki kekuasaan tertinggi dalam Negara. 
1.        Krisis Multidimensi dan Munculnya Reformasi
Krisis moneter di Indonesia dimulai dengan menurunnya nilai tukar rupiah. Hal itu memicu penurunan produktivitas ekonomi serta munculnya fungsi institusi ekonomi dalam mengatasi krisis tersebut. Hal ini kemudian mengarah pada munculnya krisis legitimasi kepercayaan atas pemerintahan Orde Baru yaitu krisis kepercayaan pada bidang politik, bidang hukum, bidang sosial dan bidang ekonomi. Permasalahan krisis kepercayaan terhadap pemerintahan Orde Baru makin meningkat dengan diangkatnya kembali Soeharto sebagai presiden Republik Indonesia. Dimulai dari krisis ekonomi yang menghantam Indonesia pada medio 1997, efek domino pun langsung mendera masyarakat Indonesia diberbagai lini. Penurunan tingkat daya beli, munculnya krisis sosial, dan meningkatnya pengangguran karena PHK menjadi permasalahan sosial yang krusial. Krisis politik, krisis social, dan krisis legitimasi atas pemerintahan Orde Baru kemudian bermunculan sebagai reaksi pertama.
2.    Krisis ekonomi
Krisis ekonomi  melanda Indonesia pada 1997, merupakan sebuah efek domino dari krisis ekonomi Asia yang melanda berbagai Negara, seperti Thailand, Filipina, dan Malaysia. Perkembangan ekonomi Indonesia telah mengalami stagnansi sejak 1990-an.. barang-barang produksi Indonesia menjadi tidak berdaya saing apabila dibandingkan dengan barang-barang luar negeri yang secara bebas memasuki pasaran Indonesia. Oleh bank dunia, pembangunan ekonomi tergolong berhasil apabila memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Bank Dunia. Syarat-syarat tersebut diantaranya adalah adanya peningkatan investasi di bidang pendidikan, yang ditandai dengan peningkatan sumber daya manusia, rendahnya tingkat korupsi yang ada di tataran pemerintahan, dan adanya stabilitas dan kredibilitas politik.. adanya krisis moneter ditandai dengan rendahnya mutu sumber daya manusia, tingginya tingkat korupsi di instansi-instansi pemerintah, dan kondisi instabilitas politik. Perekonomian Indonesia mengalami penurunan hingga mencapai 0% pada 1998.
3.       Krisis Sosial
Suhu politik ditataran elite yang makin memanas menimbulkan berbagai potensi perpecahan social di masyarakat. Kelompok masyarakat yang menuntut presiden Soeharto mundur dari pemerintahan diwakili oleh mahasiswa. Kelompok ini memiliki cita-cita reformasi terhadap Indonesia. Organisasi yang berada pada jalur ini, diantaranya Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dan Forum Kota (Fosrkot). Meskipun kedua organisasi mahasiswa tersebut memiliki napas perjuangan yang berbeda, tetapi tetap memiliki tujuan yang sama, yakni menurunkan Soeharto dari kursi kepresidenan, menghapus Dwi fungsi ABRI, dan mewujudkan reformasi Indonesia secara optimal.
Kerusuhan sistematis yang terjadi dibeberapa daerah di Indonesia pada 13-14 mei 1998, menjadi bukti dari adanya pergesekan social antarmasyarakat. Munculnya berbagai kerusuhan horizontal ini merupakan implikasi dari kebijakan ekonomi sentralistik yang menimbulkan jurang pemisah kesejahteraan yang begitu tinggi antara pusat dan daerah.
4.       Krisis Politik
Proses aspirasi politik ke pemerintahan tidak terdistribusi secara sempurna. Dengan demikian, proses penyaluran aspirasi rakyat pun terhambat. Segala peraturan yang dibentuk oleh MPR/DPR pada prinsipnya tidak berorientasi jangka panjang, melainkan semata-mata bertujuan untuk memenuhi keinginan dan kepentingan para oknum-oknum tertentu. Selain itu, budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) telah mengakar kuat didalam tubuh birokrasi pemerintahan. Unsure legislative yang sejatinya dilaksanakan oleh MPR dan DPR dalam membuat dasar-dasar hokum dan haluan Negara menjadi sepenuhnya dilakukan oleh Presiden Soeharto. Kondisi ini memicu munculnya kondisi status quo yang berakibat pada munculnya krisis politik, baik itu dalam tataran elite politik maupun masyarakat yang mulai mempertanyakan legitimasi pemerintahan Orde baru.

1.3     ANALISIS SIDANG DPR “PILKADA LANGSUNG”
Analisis yang dilakukan dalam penilaian Sidang paripurna pengesahan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) yang diadakan pada hari kamis tanggal 26 september 2014 dapat dinyatakan sebagai sidang yang tidak seharusnya dilakukan oleh para anggota DPR, yang sebenarnya mereka adalah wakil dari rakyat yang berpendidikan tetapi dalam persidangan dapat dilihat bahwa perilaku yang mereka lakukan tidak mencerminkan seseorang yang berpindidikan tinggi. Dilihat dari cara mereka yang mengajukan intrupsi dengan berbondong-bondong kepada pemimpin sidang, hingga seperti anak Sekolah Dasar yang hendak bertanya kepada gurunya akan sesuatu yang mereka tidak setujui. Kericuhan ini bermula pada saat salah satu fraksi dari partai Demokrat yang meminta 10 syarat yang diajukan oleh partai Demokrat dalam pelaksanaan PILKADA Langsung dikabulkan, dan beberapa fraksi dari partai PDI-P, HANURA, serta PKB yang mendukung persyaratan yang diminta oleh partai Demokrat. Fraksi lain yang tak sepakat melayangkan interupsi dan meminta segera dilakukan voting untuk dua opsi antara pilkada langsung dan pilkada melalui DPRD. Persidangan akhirnya sempat mengalami skors sehingga waktu persidangan pun menjadi lebih lama dan semakin larut malam menimbulkan ketidak fokusan anggota lainnya sehingga ada yang saat sidang sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Beberapa anggota DPR yang akhirnya tidak mendapat kesempatan berbicara melalui microphone maju ke depan agar dapat menyampaikan intrupsi mereka secara langsung kepada pimpinan sidang. Politisi PDI-P Maruarar Sirait menjadi anggota DPR yang naik ke tempat di mana pimpinan DPR duduk. Dari hasil analisis yang dilakukan pendapat yang dapat diberikan adalah sebaiknya RUU pilkada tetap dilakukan melalui suara rakyat, karena apabila melalui DPR akan dapat kemungkinan-kemungkinan terdapat ketidakadilan salah satunya adalah korupsi, seperti yang diketahui RUU pilkada pemilihan langsung saja masih sering terdapat anggota yang korupsi tidak dapat dibayangkan apabila RUU pilkada dipilih oleh DPR tingkat korupsi yang terjadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar